Jakarta, Mediaperkebunan.id
Luas kebun sawit dalam kawasan hutan sesuai kesepakatan semua instansi yang melakukan pendataan adalah 3.372.615 ha, terdiri dari hutan konservasi 91.047 ha, hutan lindung 155.119 ha, hutan produksi tetap 501.572 ha, hutan produksi terbatas 1.497.421 ha dan hutan produksi yang dapat dikonversi 1.127.428 ha. Sekjen Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Bambang Hendroyono menyatakan hal ini dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi IV DPR-RI, Rabu (17/3).
“Masalah kebun kelapa sawit dalam kawasan hutan ini merupakan hal yang urgen diselesaikan lewat UU Cipta Kerja. Sebagai turunannya sudah dibuat PP nomor 24 tahun 2021 tentang Tata Cara Sanksi Administratif dan Tata Cara PNBP Dari Denda Adminisstrasi Bidang Kehutanan. Lewat aturan ini maka semua masalah perkebunan kelapa sawit di kawasan hutan bisa diselesaikan,” katanya.
Mekanisme penyelesaian kebun sawit dalam kawasan hutan adalah dengan pasal 110 A dan 110 B. Pasal 110 A dikenakan pada perusahaan dan perkebunan rakyat yang ketika berdiri memang berada di luar kawasan hutan, kemudian ada perubahan peraturan masuk dalam kawasan hutan.
Perusahaan yang kegiatan usahanya sudah terbangun, memiliki izin lokasi dan izin usaha bidang perkebunan yang sesuai dengan tata ruang, terletak di kawasan hutan produksi, maka bisa mengajukan pelepasan. Setelah mendapat persetujuan pelepasan harus membayar PSDH, DR atau denda pengenaan sanksi administratif. Sedang yang berada dalam kawasan hutan lindung tidak bisa pelepasan, tetapi masih boleh melanjutkan usahanya 15 tahun setelah tanam, harus bermitra dengan masyarakat , tidak boleh replanting.
“Sedang perkebunan rakyat yang dari awal memang sudah benar berada di luar kawasan, kemudian ada penunjukkan masuk dalam kawasan, maka bisa dilepas. Prioritas pelepasan adalah masyarakat. Mereka juga tidak dikenakan denda administratif. Kawasan transmigrasi yang banyak memiliki kebun sawit eks PIR juga bila masih berada dalam kawasan hutan akan segera dilepaskan, sebab dari awal memang sudah ditetapkan bukan kawasan hutan,” katanya.
Pasal 110 B dikenakan pada perusahaan yang sejak awal memang sudah berada dalam kawasan hutan tanpa izin yang sah dan sudah melakukan kegiatan. Bila berada dalam hutan produksi, perusahaan boleh tetap beroperasi setelah membayar denda administratif tetapi lahannya tetap kawasan hutan, dengan persetujuan penggunaan kawasan hutan. Bila berada dalam hutan lindung selain membayar denda admistratif juga harus mengembalikan kawasan hutan pada negara.
Sedang untuk perkebunan rakyat bila terbukti sudah diam di sekitar kawasan hutan selama minimal 5 tahun dan luas kebun maksimal 5 ha maka diijinkan mengelola kebun tanpa denda administratif, masuk dalam mekanisme perhutanan sosial. “Kita memberi kesempatan mereka meningkatkan produktivitas sehingga kesejahteraan meningkat. Lahan yang digunakan tetap masuk dalam kawasan hutan,” katanya.