Jakarta, Mediaperkebunan.id
Aktor pembangunan adalah pemerintah (birokrat), legislator, akademisi, pemodal (pengusaha), media dan civil society. Dalam aktivitas Peremajaan Sawit Rakyat (PSR), keberadaan civil society yaitu asosiasi petani kelapa sawit yang paling terabaikan keberadaannya. Pahala Sibuea, Ketua Umum POPSI (Perkumpulan Forum Petani Kelapa Sawit Jaya Indonesia) menyatakan hal ini. POPSI beranggotakan ASPEKPIR, SPKS, APKASINDO PERJUANGAN dan JaPSBI.
Padahal asosiasi petani kelapa sawit, terutama yang tergabung dalam POPSI sudah ada di akar rumput, juga melakukan pembinaan petani yang melekat , setiap saat selalu ada untuk kepentingan anggotanya. Karena itu salah satu upaya untuk melakukan percepatan PSR adalah melibatkan asosiasi petani kelapa sawit.
Aktivitas yang bisa dilakukan bersama dengan asosiasi petani kelapa sawit adalah sosialisasi PSR. Kenyataanya di lapangan menunjukkan masih banyak petani yang tidak tahu apa itu PSR. Asosiasi petani anggota POPSI sebenarnya sudah melakukan sosialisasi tetapi jangkauanya belum luas karena menggunakan dana sendiri. Kalau ada dana BPDKS maka sosialisasi akan menjangkau lebih luas lagi.
Harus ada big data petani sawit untuk dasar pemetaan dan dasar kebijakan. Pemerintah bisa menggunakan data keanggotaan asosiasi yang sudah sampai ke akar rumput. Pembentukan kelompok tani merupakan dasar dari PSR. Pada petani plasma tidak ada masalah, tetapi petani swadaya banyak yang belum berkelompok. Asosiasi petani bisa dilibatkan dalam pembentukan kelompok tani.
SDM dinas perkebunan kabupaten/kota harus diperkuat kapasitasnya sebagai pendamping petani dan penyuluh. Asosiasi petani bisa bersinergi dengan dinas menjadi pendamping dan penyuluh petani.Hal yang paling penting adalah ketersediaan benih, jangan sampai petani peserta PSR mendapatkan benih yang illegitim. Benih harus tersedia dan terjamin keasliannya. Monitoring dan evaluasi oleh dinas juga penting sebab di beberapa daerah ada benih untuk PSR yang tidak layak.
PSR dengan jaminan benih tenera yang optimal akan menyebabkan produktivitas tinggi sehingga pendapatan petani meningkat; pengusaha mendapatkan rendemen yang tinggi dan ketelesuran yang menjadi syarat pasar bisa dipenuhi; karena lahan yang ada sudah optimal dengan produktivitas tinggi maka ekspansi ke kawasan hutan tidak diperlukan lagi.
POPSI sendiri terbentuk tujuannya adalah untuk memperbaiki tata kelola perkebunan sawit rakyat. Programnya adalah mencari solusi permasalahan petani dengan kearifan lokal; meningkatkan kesejahteraan petani dengan konsep sawit berkelanjutan; sosialisasi regulasi ke petani dan menselaraskan isu-isu kebijakan atau regulasi yang mempunyai dampak pada perkebunan sawit rakyat; memastikan kehadiran pemerintah dan perusahaan dalam memperbaiki tata kelola sawit rakyat.
Sesuai data Ditjenbun dari 16,38 juta ha tutupan sawit Indonesia, 6,72 juta ha merupakan luas lahan petani. Petani sawit sendiri 70% merupakan petani swadaya sedang plama 30%. Asal usul petani swadaya memperoleh lahan adalah bekas hutan, bekas semak belukar, bekas kebakaran, bekas hutan tanaman, bekas ladang sawah. Dengan kondisi seperti ini maka banyak kebun petani swadaya berada dalam kawasan hutan. Saat ini petani yang ikut PSR adalah petani plasma, ex plasma dan swadaya yang bukan berada di dalam kawasan hutan.
Dengan banyaknya petani yang berada dalam kawasan hutan maka petani ini tidak akan mendapat fasilitasi dalam Rencana Aksi Nasional Kelapa Sawit Berkelanjutan, tidak mungkin bersertifikat ISPO. UU Cipta Kerja diharapkan bisa mengatasi masalah ini dan POPSI akan terus mengawal supaya masalah ini bisa diselesaikan. POPSI berharap kebijakan terkait hal ini bisa dievaluasi dan terjadi perubahan kebjakan.