Jakarta, Mediaperkebunan.id
Keberadaan surveyor yaitu PT Surveyor Indonesia pada PSR (Peremajaan Sawit Rakyat) perlu dievaluasi. Surveyor sesuai arahan Komite Pengarah BPDPKS diharapkan bisa mempercepat pelaksanaan PSR. Tetapi pada kenyataannya karena PT Surveyor Indonesia tidak punya kapasitas yang memadai tujuan ini tidak tercapai. Ketua Dewan Pembina POPSI (Persatuan Organisasi Petani Sawit Indonesia) , Gamal Nasir menyatakan hal ini.
Buktinya pada bulan November sampai Desember 2020 kinerja rekomtek dari Surveyor Indonesia kurang 10% dari target. Target 2020 surveyor ditugaskan mengusulkan rekomtek 75.100 ha yang tercapai hanya 9.000 ha, jauh sekali .
“Dari laporan yang saya terima tenaga SI yang ke lapangan waktu mengambil data calon peserta pekebun kurang memiliki kapasitas untuk mengukur lahan/menentukan koordinat. Ini yang perlu dipertanyakan kenapa ditunjuk perusahaan yang tidak kompeten. Mereka dibayar cukup tinggi kenapa tidak mendidik tenaganya supaya mampu melakukan pengukuran. Jadi kalau seperti ini terus sama saja BPDPKS mengeluarkan uang sia-sia karena tidak cukup membantu,” kata Gamal.
Walaupun pengusulan lewat jalur SI dimana usulan rekomtek langsung dikirim ke Ditjebun tetapi dinas tetap dilibatkan karena SK CPCL diterbitkan bupati/kadis yang menangani urusan perkebunan. Usulan SI ketika mendapat persetujuan rekomtek, Ditjenbun tetap harus melakukan verifikasi.
“Jadi apa yang dilakukan SI sama dengan yang dilakukan dinas dan pada akhirnya dinas tetap harus turun tangan. Saya melihat surveyor ini sebenarnya tidak diperlukan. Mereka tidak pernah mengerjakan pekerjaan ini sebelumnya dan merekrut tenaga baru yang ternyata tidak kompeten juga. Jadi stop saja kembalikan semua pada dinas. Anggaran swakelola BDPKS yang diberikan pada dinas lewat Dirjenbun saja yang perlu diperbesar. Atau libatkan asosiasi petani yang nyata berada di lapangan untuk melakukan pendampingan” kata Gamal.
Tujuan adanya SI dalam PSR sebenarnya baik tetapi kenyataannya perusahaan yang ditunjuk tidak punya kapasitas. Karena itu perlu evaluasi kebijakan kalau memang tidak mempercepat berarti tujuan tidak tercapai sehingga tidak perlu diteruskan. Kalau masih menggunakan surveyor harus dibuat aturan yang jelas dan mekanisme pelaksanaanya. Jangan sampai dana yang dihimpun BPDPKS yang merupakan dana petani juga tidak memberi manfaat apa-apa bagi petani.
M Darto, Sekjen Serikat Petani Kelapa Sawit menyatakan hal yang sangat penting bagi petani untuk bisa ikut PSR adalah peta kebun, titik koordinat , STDB dan pendampingan. Semuanya memerlukan biaya dan dinas yang membawahi perkebunan punya kapasitas tetapi tidak ada biaya untuk melaksanakannya.
Arahan Komrah untuk menyerahkan pada surveyor yang merupakan lembaga proyek merupakan keselahan. Komrah tidak mempercayakan pada dinas perkebunan tetapi pada lembaga luar. Lembaga proyek hanya akan memburu rente saja. Surveyor dipercaya mendampingi petani sampai dana cair padahal tidak punya pengalaman.
Surveyor Indonesia sejauh ini terbukti tidak punya kapasitas untuk mendampingi petani. Banyak kejadian surveyor langsung datang ke petani tanpa menghubungi dinas perkebunan, akibatnya ketika akan CPCL dinas mengalami kesulitan. Karena itu Darto minta organisasi petani yang bergerak di akar rumput supaya dilibatkan.
Luluk Nur Hamidah anggota Komisi IV DPR dari PKB Dapil Jateng menyatakan dirinya banyak mendapat laporan dari berbagai daerah soal lembaga surveyor untuk PSR. Keberadaanya tidak banyak membantu malah menyulitkan karena kapasitas mereka yang sangat pas-pasan.
“Keberadaan Surveyor Indonesia harus diaudit lagi. Selama ini untuk CPCL aturannya sangat ketat dan berlapis mulai dari kabupaten sampai pusat. Masa tiba-tiba ada lembaga luar yang tidak punya kapasitas bisa mengajukan,” katanya.
Satria, Ketua APKASINDO Papua menyatakan dirinya sudah dihubungi oleh surveyor. Ternyata apa yang dilakukan surveyor tidak banyak membantu karena petani sudah bisa melakukannya sendiri. Petani yang sudah dibina Dinas Perkebunan sanggup memenuhi syarat yang diminta.