Jakarta, Media Perkebunan.id
Program PIR dengan pola inti plasma adalah program yang sangat bagus. Dirancang dan diatur oleh beberapa Kementerian dan lembaga , PIR terbukti merubah kehidupan dari orang yang tidak punya apa-apa menjadi lebih sejahtera. “Contohnya saya sendiri. Menjadi transmigran dan bergabung dalam PIR adalah pilihan karena di Jawa tidak punya apa-apa. Program bagus ini harus diteruskan,” kata Setiyono , Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit PIR Indonesia.
Kalau ada masalah dulu adalah seleksi yang kurang pas. Mungkin karena memang susah mencari orang yang mau jadi transmigran akhirnya siapa saja yang daftar diterima. Sesampainya di lokasi akhirnya banyak yang tidak tahan dan pulang kembali. “Tetapi bagi orang seperti saya yang di Jawa susah, memilih tetap bertahan dan berjuang. Akhirnya sekarang saya sudah menikmati hasilnya,” kata Setiyono lagi.
Manfaat lain menjadi petani plasma jelas sekali yaitu semua permasalahan yang ada pada petani swadaya sekarang seperti penggunaan bibit yang tidak jelas, teknik penanaman yang kurang dan lain-lain sama sekali tidak ada pada kebun plasma. Lahan juga sudah clear and clean, bersertifikat. “Tetapi sekarang ada lahan plasma bersertifikat tetapi dinyatakan masuk dalam kawasan hutan. Saya tidak tahu salah siapa bisa seperti ini,” katanya.
Perusahaan-perusahaan besar yang bonafid, punya kemampuan finansial dan teknologi rata-rata bagus plasmanya. Setyiono sendiri merupakan petani plasma PTPN V dan saat ini masih tetap bermitra. Permasalahan sering terjadi pada perusahaan yang kemampuan finansial dan teknologi terbatas. Pola ini sudah diatur dengan bagus, tinggal pemerintah mengawasi pelaksanaannya.
“Hanya masih ada yang kurang dan belum dilaksanakan. Kewajiban supaya plasma memiliki saham di perusahaan. Apapun juga pola inti plasma harus dilanjutkan. Sayangnya lewat Permentan 98 tahun 2013 inti plasma ini sudah tidak ada lagi dan diganti dengan kemitraan dengan berbagai pola. Demikian juga kalau dulu luas lahan plasma bisa 60-70% , sedang inti sisanya. Artinya memang program ini dirancang dari awal supaya rakyat sejahtera. Sekarang hanya disebutkan kemitraan minimal 20% dari luas lahan yang diusahakan,” kata Setiyono.
Sebagai saksi sejarah dari keberhasilan program ini,bisa berjalan bagus selama masing-masing pihak konsisten melaksanakan perannya. Buktinya sampai sekarang petani plasma tetap menikmati harga sesuai penetapan. Kalau ada masalah itu kasus yang wajar terjadi, dimanapun pasti selalu ada kekecualian.
Kemitraan sudah ditata sedemikian rupa sehingga tidak ada yang dirugikan. Kalau konsisten dilaksanakan maka semua pihak merasa nyaman. Kalau sudah nyaman buat apa lagi malah berubah ke swakelola.
Kemitraan bisa diibaratkan telur dimana kuning dan putih telur merupakan inti dan plasma, sedang pemerintah menjadi kulit yang merekatkan. Atau gigi mesin yang setiap bagiannya bekerja dengan baik sehingga akhirnya adalah kesejahteraan.
Demikian juga pada kemitraan, kalau semua pihak melaksanakan perannya masing-masing maka semua akan berjalan agar tatanan kelapa sawit berkelanjutan bisa berjalan dan nyaman. Petani jalankan peran sebagai petani, inti juga sesuai porsinya dan pemerintah jadilah pembuat peraturan yang adil ibarat wasit harus adil dan jujur.
“Tetapi dengan alasan kesetaraan tiba-tiba petani ingin jadi perusahaan. Kami tidak mau terhipnotis dengan jargon kesetaraan. Inti plasma dari dulu sudah setara. Dulu pada awalnya kami menerima saja apa yang ditentukan perusahaan, sekarang semuanya dibahas bersama dulu sebelum jadi kesepakatan. Kita harus sadar dimana posisi kita,” katanya.