Jakarta, Mediaperkebunan.id – Industri sawit saat ini menghadapi dua masalah lingkungan yakni deforestasi dan emisi gas rumah kaca. Penyebab emisi GRK salah satunya disebabkan oleh aktivitas pabrik kelapa sawit. Dalam proses produksinya, pabrik kelapa sawit harus merebus (sterilizer).
PKS menggunakan banyak air sehingga menghasilkan limbah cair yang ditampung di kolam. Kolam ini melepas gas metana ke udara, menghasilkan efek gas rumah kaca yang cukup besar yaitu sebanyak 1 ton CPO akan menghasilkan 1.2961 kg CO2 eq. Petrus Tjandra selaku Direktur Utama PT Agro Investama Group menyatakan hal ini kepada Media Perkebunan (13/08/2024).
“Hasil penelitian menunjukkan perkebunan kelapa sawit menyerap karbon lebih besar dari tanaman kehutanan. Masalahnya PKS menghasilkan emisi GRK cukup tinggi dari limbah. Emisi GRK PKS perlu ditekan sehingga industri kelapa sawit menjadi industri rendah karbon,” kata Petrus.
Permasalahan limbah cair dapat diatasi dengan penerapan teknologi dry process pada pabrik kelapa sawit. Berbeda dengan teknologi wet process yang saat ini diterapkan di Indonesia, dry process adalah teknologi yang tidak menggunakan uap atau Steamless Palm Oil Technology (SPOT) sehingga tidak menghasilkan limbah.
Penerapan PKS SPOT di Indonesia
Penerapan PKS SPOT ini memberikan gambaran pabrik yang bersih dan kering karena tidak menggunakan air. Lokasi PKS SPOT juga tidak perlu dekat dengan sungai dan tidak membutuhkan boiler besar seperti pabrik berbasis teknologi uap.
PKS SPOT dapat dibangun lebih ekonomis dengan skala yang kecil dan dibangun di kebun. Hasil produksi minyak yang dihasilkan berupa Palm Mesocarp Oil (PMO) yang kualitasnya lebih tinggi dibandingkan Crude Palm Oil (CPO).
Namun penerapan PKS SPOT di Indonesia masih kurang mendapatkan kepercayaan. Padahal teknologi ini telah sukses dibangun di Thailand dan Indonesia. Di Thailand penerapan pabrik ini sudah setara dengan penerapan pabrik sawit dengan uap, sedangkan PKS SPOT pertama di Indonesia telah dibangun di Jambi.
“Namun permasalahannya banyak petani yang belum percaya terhadap teknologi ini. Pedahal sudah ada buktinya di Thailand dan Indonesia. Pabrik ini juga menguntungkan petani karena bisa dibangun di kebun dan lebih efisien,” ungkapnya.
Teknologi PKS yang Efisien
Alat yang digunakan mengandalkan teknologi terbaru dan memudahkan proses produksi yang berupa detacher, dry heated, dan demesocarper. Detacher merupakan alat pemberondol yang memisahkan buah dari TBS. Alat ini dipasang di kebun, tandang kosong bisa dikembalikan ke kebun dan petani lebih mudah membawa buah ke pabrik dan biaya operasional pun berkurang. Dry heated juga merupakan kunci untuk menciptakan pabrik sawit yang ramah lingkungan.
Tak hanya itu, penggunaan demesocarper membuat petani mampu memisahkan nut dan mesocarp sehingga tidak ada minyak yang terbuang percuma. Mesocarp dapat ditekan dengan lebih kuat sehingga dapat menghasilkan produksi minyak yang lebih banyak. Atas inovasinya ini, Petrus Tjandra memperoleh penghargaan Indonesia Top Green Leaders Award 2024.
“Selain itu, perlu adanya teknologi yang membantu efektivitas dan produktivitas pabrik sawit seperti detacher, dry heated, dan demesocarper. Dengan begitu biaya operasional dapat lebih murah,” terangnya.
Pabrik tanpa uap ini sudah mendapatkan dukungan dari Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian. Kedepannya Petrus Tjandra berharap setiap kebun petani sawit swadaya terdapat pabrik ini. Dengan begitu petani dapat menggunakan kelapa sawit yang matang sehingga meningkatkan hasil produksi minyak.
“Petani biasanya memanen buah setengah matang karena dia takut buahnya menjadi busuk karena membutuhkan waktu pengiriman. Kalo pabrik udah deket kebun maka dapat panen buah matang. Jadi hasil produksi minyak dapat lebih banyak dari buah setengah matang,” imbuhnya.
PKS SPOT yang menggunakan dry process ini bisa menyelesaikan berbagai masalah yang dihadapi oleh industri sawit. Keinginan Indonesia untuk memproduksi 100 juta ton di tahun 2045 pun dapat tercapai tanpa mencemari lingkungan.