Jakarta, Mediaperkebunan.id
UU nomor 39 tahun 2014 tentang Perkebunan pasal 57 ayat 2 menyebutkan kemitraan usaha perkebunan berupa pola kerjasama penyediaan sarana produksi, produksi, pengolahan dan pemasaran, kepemilikan saham dan jasa.
“Kepemilikan saham saat ini belum ada pada kemitraan yang sedang berjalan. Jadi jangan puas dulu, ini perlu kita kejar dan harus diwujudkan,” kata Gamal Nasir, Ketua Dewan Pembina ASPEKPIR Indonesia pada webinar seri ASPEKPIR seri 2 “Perkuat Kemitraan dengan Pola Terkini untuk Masa Depan Sawit Indonesia Berkelanjutan”.
Lewat kepemilikan saham maka petani berpeluang jadi pemilik Pabrik Kelapa Sawit. “Jadi tidak perlu punya pabrik sendiri. Bukan berarti keinginan untuk punya pabrik sendiri jelek, Masalahnya mampu tidak. Manajemen pabrik lebih rumit belum lagi pemasarannya. Kalau mampu silakan kalau tidak kejar saja menjadi pemegang saham. Pemegang saham artinya jadi pemilik juga dan mendapat dividen,” kata Gamal.
Gamal minta masing-masing pihak dalam kemitraan sekarang menjalankan fungsinya masing-masing. Petani fokus saja pada kebunnya untuk menghasilkan produktivitas dan mutu TBS tinggi. Sedang pabrik dikelola perusahaan dan petani menjadi pemegang saham. Pernah ada PKS yang dibangga-banggakan sebagai milik petani tetapi baru berjalan setahun saja masalahnya banyak, pemilik tidak mampu atasi sehingga diambil alih perusahaan swasta.
“Setelah PKS sekarang ada lagi keinginan petani punya pabrik pupuk sendiri karena harga pupuk yan mahal dan langka. Petani jadi ingin memilik sendiri semua hal padahal era ekonomi sekarang adalah kolaborasi, kerjasama sinergi antara berbagai pihak untuk memperkuat perekonomian,” kata Gamal.
Dalam kondisi pupuk langka dan mahal maka solusinya bagi petani adalah menjalin kemitraan dengan perusahaan untuk mendapatkan sarana produksi. Perusahaan punya pemasok pupuk sendiri dan petani bisa mendapatkannya lewat perusahaan.
Soedjai Kartasasmita, Begawan Perkebunan Indonesia menyatakan kedepan dari sawit yang harus dilakukan adalah hilirisasi. Petani harus ambil bagian dari hilirisasi ini dengan menjadi pemegang saham pabrik hilir.
Mula Putera, dari Direktorat Tanaman Tahunan dan Penyegar, Ditjen Perkebunan menyatakan harapan sawit rakyat ke depan adalah penguatan pekebun swadaya. Program pemerintah lewat peremajaan harapannya protas tinggi 30-40 ton TBS dan tahan ganoderma; penguatan kelembagaan pekebun melalui korporasi.
Petani masuk dalam rantai pasok melalui kemitraan. Petani terkonsolidasi dalam kelompok tani, gabungan kelompok tani dan korporasi untuk mendapat fasilitas sarana dan prasarana, alsintan dan lain-lain. Kelembagaan petani melakukan budidaya dengan pendampingan pemerintah dan perusahaan mitra.
Koperasi bersama BUMN dan BUMDes membentuk PT untuk mengelola korporasi petani dan swasta sebagai mitra strategis petani. PT ini masuk ke unit pengolahan hasil . CPO dipergunakan untuk produk olahan oleofood dan ekspor, sedang IVO untuk biodiesel.
Pemerintah juga berupaya supaya rantai pasok TBS diperbaiki sehingga dari petani ke koperasi langsung ke PKS. Rantai pasok seperti ini sudah berjalan pada petani plasma. Rantai pasok petani swadaya selama ini terlalu panjang sehingga mengurangi keuntungan.
Ketua Umum Aspekpir Setiyono menyatakan saat ini membuat petani kompak lebih sulit dibanding masa lalu. Timbulnya loading ramp yang menampung TBS membuat kemitraan banyak yang tidak berlanjut. Di koperasi-koperasi PIR yang jelas-jelas menguntungkan ada saja petani yang keluar dan memilih menjadi swadaya. Padahal dulu banyak petani swadaya yang ingin menjadi petani plasma.