2nd T-POMI
2021, 24 September
Share berita:

PETANI MANDIRI HARUS MASUK RANTAI PASOK BIODIESEL

Jakarta, Mediaperkebunan.id

Taufik Radhianshah , peneliti dan Ricky Amukti Manajer Kolaborasi Eksternal, Traction Energy Asia menyatakan kebijakan untuk menempatkan pekebun sawit mandiri dalam rantai pasok biodiesel nasional layak dilakukan. Dari setiap biaya yang keluar dari kebijakan ini, ada 2,13 manfaat yang diperoleh.

Beberapa manfaatnya adalah peningkatan kesejahteraan pekebun sawit mandiri serta penurunan emisi karbon. Kebijakan ini berfokus pada intensifikasi lahan pekebun sawit mandiri sehingga , mencegah pembukaan lahan sawit baru akibat peningkatan permintaan akan crude palm oil (CPO) sebagai bahan baku untuk memenuhi program mandatori biodiesel oleh pemerintah.

Program mandatori biodiesel sendiri adalah salah satu dari sekian kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia untuk mencapai target penurunan emisi gas rumah kaca paling tidak sebesar 29% di tahun 2030. Program ini secara bertahap mewajibkan penggunaan minyak kelapa sawit ke dalam bauran bahan bakar nabati jenis biodiesel untuk mengurangi ketergantungan akan bahan bakar fosil.

Pada kenyataannya, volume emisi yang muncul dari penanaman sawit sendiri juga perlu diperhitungkan, misalnya dari alih fungsi lahan, jenis dan jumlah pemakaian pupuk, proses distribusi tandan buah segar kelapa sawit ke pabrik kelapa sawit, hingga pengelolaan limbah cair sawit yang menghasilkan gas metana. Sebelumnya, kajian analisis daur hidup (LCA) Traction Energy Asia menemukan bahwa emisi gas rumah kaca dari perkebunan dan pabrik kelapa sawit sendiri berkontribusi sebesar 83-95% ke emisi gas rumah kaca produksi biodiesel.

“Jika pemerintah serius ingin menurunkan emisi gas rumah kaca, salah satu solusi yang harus diambil adalah melibatkan pekebun sawit mandiri di dalam rantai pasok kebijakan biodieselnya,” pungkas Ricky Amukti. “Produktivitas pekebun sawit mandiri sendiri rendah dibandingkan dengan perusahaan, yakni hanya separuh dari produktivitas perusahaan sawit. Untuk memenuhi kebutuhan yang sama, pekebun sawit mandiri memerlukan lahan dua kali lipat lahan perusahaan yang justru akan menambah emisi. Maka, perlu ada komitmen serius untuk melakukan intensifikasi lahan pekebun mandiri. Tanpa adanya pengakuan dan pelibatan resmi mereka di rantai pasok, ini sulit dilakukan.”

Baca Juga:  Ditjen Perkebunan Konsisten Tingkatkan SDM Perkebunan Kelapa Sawit

Dedi, Sub Koordinator Penerapan Teknologi dan Pemberdayaan, Direktorat Tanaman Tahunan dan Penyegar, Ditjen Perkebunan menyatakan bahwa peningkatan kesejahteraan para pekebun mandiri merupakan upaya bersama. “Untuk menjamin harga tandan buah segar yang diterima petani lebih layak, memang pekebun sawit perlu bekerjasama dengan pabrik kelapa sawit. Untuk mendorong hal tersebut, hal ini tidak bisa dilakukan sendirian oleh pemerintah. Kami juga perlu dukungan dan kerjasama dari pemangku kepentingan terkait, termasuk asosiasi-asosiasi petani.”

Kementan sendiri memiliki program mendukung energi baru dan terbarukan, dengan posisinya sebagai penanggung jawab hulu maka programnya adalah menyediakan kecukupan bahan baku untuk energi baru terbarukan. Fokusnya pada upaya memberdayakan kelapa sawit rakyat.

Fokus pada upaya meningkatkan produktivitas dengan program PSR, bantuan sarana dan prasarana termasuk pupuk dan pembangunan PKS, bantuan sertifikasi ISPO, pengembangan SDM lewat bea siswa dan pelatihan
.
Masuknya pekebun dalam rantai pasok sudah diatur dalam UU perkebunan lewat kemitraan. Pemeriintah tidak lagi menggunakan istilah petani swadaya dan plasma, tetapi semua punya hak yang sama sebagai pekebun. Untuk menjalin kemitraan maka petani harus membentuk kelembagaan. Perusahaan yang akan menjalin kemitraan berkoordinasi dengan pemda setempat.