Bogor, Mediaperkebunan.id
Sekitar 70% kopi robusta Indonesia diproduksi di Bentang Alam Bukit Barisan Selatan yang terletak di tiga provinsi yaitu Lampung, Bengkulu, Sumatera Selatan, dengan luas 318.000 ha saat ini 11% kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) sudah menjadi kebun kopi. Kondisi seperti ini berisiko terhadap perusahaan-perusahaan kopi yang membeli dari wilayah ini, keberlanjutan kopi robusta di bentang alam ini dan mata pencaharian petani kopi. Jeni Pareira, Wildlife Conservation Society Indonesia Programe menyatakan hal ini pada webinar Trade Hub yang diselenggarakan CIFOR.
Untuk mengatasi hal ini maka dibuat BBS KEKAL (Bukit Barisan Selatan Kemitraan Komoditas Lestari) yang merupakan kemitraan antara pemerintah, pihak swasta, kelompok tani dan organisasi masyarakat sipil pada tingkat lanskap untuk mendukung Balai Besar TNBBS meletarikan kawasan hutan penting di dalam TNBBS dan mendukung mata pencaharian petani yang berdiam disekitarnya.
Hasilnya ada 24 kelompok tani berkomitmen terhadap prinsip BBS KEKAL yaitu menghasilkan kopi bebas deforestasi. Petani tidak membuka kawasan hutan , menjual atau membeli lahan di dalam kawasan hutan. Petani telah terdaftar dan kebunnya telah dipetakan dalam Sistem Informasi Petani. Petani juga telah menerima pelatihan budidaya kopi yang baik.
Organisasi petani diperkuat. BB TNBBS bersinergi dengan Pemda untuk menciptakan insentif bagi petani untuk memproduksi kopi bebas deforastasi. Memfasilitasi diskusi antara petani dengan bagian pembelian perusahaan untuk meningkatkan akses petani ke pasar (dengan syarat kopi yang dihasilkan bebas deforestasi).
Pembelajaran dari BBS KEKAL adalah pelatihan dan penerapan GAP meningkatkan kualitas dan kuantitas hasil produksi petani 1-2 ton/ha. Menguatkan petani untuk meninggalkan lahannya dalam kawasan hutan karena mereka sadar berkebun dalam TNBBS tidak menguntungkan dan bertentangan dengan aturan.
Diskusi langsung dengan pihak pembelian perusahaan membuat petani paham pentingnya peningkatan kualitas kopi yang dihasilkannya termasuk kriteria bebas deforestasi. Penting untuk tidak hanya fokus pada kopi tetapi memadukan dengan komoditas lain untuk mendukung peningkatan pendapatan dan dampak terhadap lingkungan. Sistim keterlacalan hingga ke kebun cukup menantang .
Bustanul Arifin , Guru Besar Universitas Lampung menyatakan keberadaan petani kopi di buffer zone TNBBS sudah berlangsung 50 tahun, sebagian besar merupakan pendatang dari Jawa baik suku Jawa maupun Sunda. Kepemilikan lahan mencapai 0,25-2,5 Ha , masing-masing satu bidang termasuk di wilayah yang berlereng.
Rata-rata petani baik yang ada di dalam TNBBS maupun luar TNBBS berbudidaya kopi mengikuti GAP tetapi tidak memperhatikan kaidah konservasi. Upaya semua rantai pasok untuk menerapkan sustainability kopi menghadapi berbagai kendala termasuk karena pragmatisme pedagang yang tidak terlalu memperhatikan hal ini.
Sertifikat sustainability sebagai bagian dari insiatif baru perdagangan tidak mudah untuk diimplementasikan di buffer zone TNBBS. Prinsip-prinsip konservasi harus terus dikembangkan di lapangan.
Pemangku kepentingan yaitu akademisi, bisnis, pemerintah dan civil society harus bersama-sama membina kelompok tani untuk menerapkan prinsip keterlacakan dan sistim monitoring untuk meningkatkan sustainability.