Palembang, Mediaperkebunan.id-Petani harus protes terhadap penerapan EUDR (European Union Deforestation Regulation). UE lebih peka terhadap protes petani daripada pengusaha atau pemerintah. Fadhil Hasan, Ketua Bidang Hubungan Internasional GAPKI dan Direktur Asian Agri menyatakan hal ini.
Petani harus ikut serta dalam berbagai petisi dan kampanye menentang EUDR. Harus ada kerjasama antar asosiasi petani di negara-negara produsen kelapa sawit untuk memastikan hambatan bagi petani sangat kecil dan penundaan implementasi.
Sedang perusahaan yang mengekspor ke Eropa harus bekerja dengan pembeli disana untuk klarifikasi data apa saja yang diperlukan; bagaimana sertifikasi yang ada (ISPO, MPSO, RSPO) dapat memenuhi standar yang diterapkan, memastikan petani lokal dan asosiasi petani tidak keluar dari rantai pasok.
Karena EUDR yang akan berpengaruh signifikan terhadap petani dan ekonomi secara umum pemerintah negara-negara produsen sawit dan organisasi seperti CPOPC harus membahas ini maka diberbagai forum bilateral dan multilateral; mempertimbangkan di bawa ke WTO; mendorong penundaan implementasi, untuk petani beri banyak keringanan, pendampingan teknis dan dukungan keuangan.
Survey IFC menemukan bahwa hanya petani kelapa sawit Tanjung Jabung Barat yang siap untuk memenuhi regulasi EUDR; keterlacakan (traceblity) adalah hambatan utama petani swadaya; hanya 0,2% responden yang menjual langsung TBS ke PKS atau lewat koperasi; sisanya tergantung pada pedagang pengumpul sehingga sulit dalam keterlacakan dari mana asal TBS itu; diperburuk oleh data bahwa hanya 12,8% yang mendokumentasikan transaksinya.
ISPO dapat membantu tetapi tidak sepenuhnya. ISPO dapat menunjukkan bukti legalitas, sebagai bagian dari proses audit. Data menunjukkan beberapa data yang penting dari hasil audit. Tetapi ISPO tidak bisa menunjukkan bahwa kebun itu dibangun dari areal deforestasi atau keterlacakan dalam rantai pasok.
Dalam rantai pasok , peran petani sangat penting , di Indonesia 41% dari total luas lahan sedang Malaysia 27%. Sedang pasokan global 35-40% dari petani. Mereka adalah petani kecil dengan pendapatan utama dari kebun kelapa sawit , sering memanfaatkan seluruh anggota keluarga untuk menggarap kebunnya.
Berdasarkan studi kasus di Rantau Prapat, Sumatera Utara, pada tahun 2018 , petani memanen sawit menyesuaikan dengan jadwal pembeli/agen/loading ramp. Petani membawa TBS ke pembeli di titik pengumpulan. TBS ditimbang oleh pembeli/agen dan dicatat oleh petani. Tidak ada grading berdasarkan kualitas di pedagang.
Dari tempat pengumpulan (loading ramp) TBS diangkut 2 truk, satu yang bagus untuk PKS, satu lagi untuk perdagangan setempat. Sortasi dan grading dilakuan oleh PKS. Setelah TBS masuk PKS petani mendapat pembayaran kontan oleh pedagang.
Dengan EUDR pembeli minta data tambahan untuk semua tingkat yaitu geolokasi, koordinat GPS, informasi kontak, formulir deklarasi legalitas. Data ini mulai dari petani, pedagang pengumpul, refineri, pelayaran. Tiap data pada setiap tahap menjadi lebih kompleks.
Ada risiko bagi petani untuk keluar dari rantai pasok dibanding perusahaan perkebunan, akibat dari kurangnya informasi rantai pasok petani, rumitnya informasi, risiko produk ternyata diperkirakan ilegal, risiko memang deforestasi terjadi.
UE juga sudah membuat peta deforestasi yang sama sekali tidak akurat yang membuat pembeli berkesimpulan bahwa produk ini berisiko, pembeli juga tidak punya waktu dan sumber daya untuk meneliti ulang apakah peta itu benar atau tidak. Contoh ketiadak akuratan adalah kawasan HI , Jakpus sebagai kawasan deforestasi.
Peta yang tidak akurat ini akan membuat petani lebih berisiko, sedang perusahaan perkebunan besar karena skala yang besar sangat terlihat dengan jelas soal deforestasinya. Peta tidak bisa membedakan untuk tanaman campuran, petani sawit bisa saja dikategorikan deforestasi karena menanam tanaman semusim seperti tanaman pangan dan hortikultura untuk kebutuhan sehari-harinya. Pembeli akan mudah menghindari risiko seperti ini.
Risiko keluar dari rantai pasok nyata sekali, tahun 2013 Unilever menperkenalkan keterlacakan penuh untuk rantai pasoknya. Hasilnya adalah 80% petani pemasok berhenti. Menurut Gavin Neath, Unilever Senior Vice President, petani tersisih bukan karena jelek tetapi bagi standar perusahaan produk mereka tidak bisa terlacak.