Cangkang sawit saat ini menjadi biomassa untuk energi yang dibutuhkan Asia , terutama Jepang dan Thailand. Tahun 2019 ekspor cangkang sawit mencapai 1,8 juta ton dengan nilai USD144 juta. Tahun 2020 sampai Juni, ekspor ke Jepang 800 ribu ton dan nilai USD84 juta, sampai akhir tahun diperkirakan 1,2 juta ton, turun dibanding tahun 2019. Dikki Ahmad, Ketua Asosiasi Pengusaha Cangkang Sawit Indonesia (APCASI) menyatakan hal ini.
Penyebabnya adalah bea keluar dan dana pungutan ekspor yang mencapai USD22/ton. Rencana pemerintah yang akan menaikkan sampai USD27/ton (33% harga produk) diperkirakan akan membuat ekspor semakin turun. Inkonsistensi kebijakan membuat harga ekspor tidak stabil.
Pajak cangkang sampai saat ini masih dikaitkan dengan harga CPO sehingga akan naik turun. Padahal di pasar internasional , cangkang sawit punya indeks harga sendiri. Kemenperin sebenarnya sudah setuju pemisahan kebijakan cangkang dengan harga CPO.
“Kenaikan bea keluar dan pungutan ekspor produk-produk sawit tujuannya adalah memberi kecukupan dana untuk program biodiesel. Produsen biodiesel merupakan perusahaan-perusahaan besar sedang pengusaha cangkang mayoritas UMKM. Jadi kami harus ikut memberi subisidi pada perusahaan besar,” katanya.
Tingginya pajak ini membuat banyak cangkang di remote area tidak bisa keluar karena tidak ekonomis. Akibatnya 30% cangkang menjadi limbah karena tidak bisa diekspor juga tidak digunakan di dalam negeri. Jepang bisa saja menghapus cangkang sebagai sumber energi biomassa sehingga peluang ekspor akan berkurang.
Mayoritas pebinis cangkang adalah UMKM di remote area yang ikut mengembangkan ekonomi setempat. Cangkang yang diekspor adalah yang tidak digunakan PKS dan industri lainnya. Angka ideal bea keluar adalah USD4 dan pungutan USD3. Importir cangkang adalah industri pembangkit listrik yang butuh kontrak jangka panjang.