Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan (Perpres 5/2025) lahir sebagai jawaban terkait belum optimalnya pelaksanaan ketentuan Pasal 110A dan Pasal 110B Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (sebagaimana terakhir diubah dengan UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang) serta Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif di Bidang Kehutanan (PP 24/2021) Dengan diundangkannya Perpres ini pada tanggal 21 Januari 2025, pemerintah berupaya memperkuat landasan operasional untuk menertibkan kawasan hutan dan mempercepat penyelesaian masalah tata kelola lahan, pertambangan, perkebunan, maupun kegiatan lain di dalam kawasan hutan yang berisiko menghilangkan penguasaan negara atas lahan dan mengurangi potensi penerimaan negara.
Perpres ini terdiri atas VII Bab dan 18 Pasal, yang mencakup ketentuan umum, bentuk penertiban, objek penertiban, pembentukan satuan tugas (Satgas), pelaporan, pendanaan, hingga ketentuan penutup. Dalam Bab II dijelaskan tiga bentuk tindakan penertiban kawasan hutan: penagihan denda administratif (dwangsom), penguasaan kembali kawasan hutan (bestuursdwang), serta pemulihan aset di kawasan hutan. Ketiga bentuk ini diterapkan terhadap setiap orang atau badan yang melakukan aktivitas pertambangan, perkebunan, atau kegiatan lain di kawasan hutan konservasi dan/atau hutan lindung tanpa izin kehutanan yang sah.
Perpres menetapkan empat skenario pelanggaran: (1) memiliki izin usaha umum namun belum mengantongi izin kehutanan, (2) izin usaha tidak lengkap, (3) sama sekali tidak memiliki izin usaha, dan (4) izin usaha diperoleh secara melawan hukum. Pada skenario (1) dan (2), pelaku dikenai denda administratif dan kawasan diambil alih kembali; pada skenario (3) dan (4), selain denda administratif dan penguasaan kembali, pelaku juga dapat dikenai sanksi pidana sesuai ketentuan perundang-undangan. Dengan demikian, Perpres ini menegaskan bahwa langkah administratif tidak menghapus kemungkinan penjatuhan hukuman pidana jika terbukti melanggar hukum.
Untuk mengawal pelaksanaan penertiban, Perpres membentuk Satgas Penertiban Kawasan Hutan yang beranggotakan pengarah dan pelaksana, dibantu sekretariat ex-officio di lingkungan Kejaksaan Agung. Satgas memiliki wewenang membentuk kelompok kerja atau kelompok ahli dari akademisi, tokoh masyarakat, dan unsur terkait—menyesuaikan kebutuhan di lapangan. Tata kerja internal Satgas tidak diatur secara detail dalam Perpres, melainkan diatur lebih lanjut oleh Jaksa Agung. Dalam hal pelaporan, Satgas wajib menyampaikan laporan pelaksanaan tugas kepada Presiden paling sedikit setiap enam bulan atau sewaktu-waktu jika diperlukan. Sumber pendanaan Satgas berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau sumber sah lain yang tidak mengikat.
Meskipun dipersepsikan sebagai terobosan administratif, tindakan penyitaan dan penyegelan lahan sawit ilegal oleh Satgas Menuju Penertiban Kawasan Hutan menuai kritik tajam. penyitaan berpotensi menciptakan konflik karena tidak berdasar pada prosedur pengukuhan kawasan hutan sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan (UU Kehutanan). Selain itu Merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi No. 45/PUU-IX/2011 tanggal 9 Februari 2012, penunjukan kawasan hutan berbeda dengan pengukuhan kawasan hutan, yang mensyaratkan empat tahapan, yaitu penunjukan, penetapan batas, pemetaan, dan penetapan resmi sebagaimana diatur Pasal 15 UU Kehutanan.
Tanpa melalui tahap-tahap tersebut, penunjukan kawasan hutan cenderung bersifat otoriter dan mengabaikan hak masyarakat. Oleh karena itu, legalitas penyitaan dan penyegelan dapat menjadi cacat hukum jika kawasan tersebut belum resmi dikukuhkan secara hukum. Perpres 5/2025 memberikan Satgas kewenangan bestuursdwang dan dwangsom, namun tidak mengatur penyitaan dan penyegelan yang pada dasarnya merupakan tindakan penegakan hukum pidana (politional pro justitia).
Kehadiran Perpres Nomor 5/2025 berada pada level hierarki yang lebih rendah daripada Undang-Undang maupun PP 24/2021 dan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2021 tentang Penyelesaian Ketidaksesuaian Tata Ruang, Kawasan Hutan, Izin, dan/atau Hak Atas Tanah. Lebih lanjut, dikarenakan kedua PP tersebut tidak memuat klausul penyitaan dan penyegelan, upaya Satgas bisa digugat dan dinyatakan batal melalui Pengadilan Tata Usaha Negara maupun gugatan Onrechtmatige Overheidsdaad (perbuatan melawan hukum). inkonsistensi kebijakan seperti ini juga menimbulkan ketidakpastian hukum dan merugikan investor, serta dapat mengurangi peranan industri sawit yang sejatinya telah memberikan kontribusi besar bagi pertumbuhan ekonomi, pembangunan wilayah, dan penciptaan lapangan kerja.
Dengan demikian, meski Perpres 5/2025 memperkuat instrumen penertiban kawasan hutan melalui sanksi administratif dan pembentukan Satgas khusus, kerangka implementasinya perlu diselaraskan dengan ketentuan pengukuhan kawasan hutan dalam UU Kehutanan, memastikan prosedur hukum terpenuhi, serta menjaga konsistensi dengan peraturan yang lebih tinggi demi mewujudkan penegakan hukum yang adil dan berkeadilan.
Tulisan ini dibuat oleh: Prof. Dr. Ermanto Fahamsyah, S.H., M.H. (Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Jember)