2020, 25 November
Share berita:

Jakarta, Mediaperkebunan.id

Ketua Komisi IV DPR RI, Sudin, dalam rapat dengar pendapat dengan eselon 1 Kementan, minta Kementan menerbitkan aturan larangan ekspor kelapa bulat untuk memenuhi kebutuhan industri di dalam negeri. Pemerintah saat ini sedang mendorong hilirisasi. Masalahnya kelapa bulat banyak diekspor terutama ke China sehingga industri dalam negeri kekurangan bahan baku. Diharapkan dengan pelarangan ekspor banyak investor yang membangun industri olahan di dalam negeri. Kementan sendiri seperti dituturkan Dirjen Perkebunan Kasdi Subagyono siap melaksanakan permintaan ketua Komisi IV ini.

Menanggapi hal ini Perhimpunan Petani Kelapa Indonesia (PERPEKINDO), Muhaemin Tallo, menyatakan jika aturan pelarangan ekspor kelapa bulat ini dibuat maka harga kelapa yang sekarang sedang tinggi akan sangat murah jauh dibawah biaya produksi yang meliputi biaya panen, pengantaran dan biaya kupas. Akibatnya petani kelapa akan semakin jauh dari sejahtera dan terjadi penambahan kemiskinan dalam kondisi pandemi covid seperti saat ini.

Luas tanaman kelapa di Indonesia 3,8 juta ha, terluas nomor dua setelah sawit. Beda dengan sawit dimana sebagian besar di kuasai perusahaan, kelapa 98% dimiliki oleh petani. Sekitar 90% luas lahan kelapa dunia dikuasai oleh 8 negara dan Indonesia adalah pemilik lahan terluas disusul Philipina dan India.

“Semua negara penghasil kelapa tersebut juga melakukan eskpor kelapa bulat sehingga kebijakan untuk melarang eskpor tanpa mendapatkan data yang valid adalah sesuatu yang tidak bijak dari sisi kemanusian,” katanya.

Thailand dengan luas kelapa lebih kecil dari Indonesia tetapi menguasai ekspor kelapa muda terbesar dunia. Pemerintahnya mendidukung dengan kemudahan regulasi untuk mendapatkan devisa. “Jadi kenapa pemerintah kita harus melarang ekspor kelapa bulat?” tanya Tallo.

Baca Juga:  Harga Lada Hitam Diprediksi Meningkat sampai 2028, Ini Faktornya

Data Kementan menujukkan produksi kelapa Indonesia sekitar 15,4 milyar per tahun . Dengan kebutuhan rumah tangga sekitar 1,53 milyar butir dan industri sekitar 9,6 milyar butir maka terjadi surplus sekitar 4.5 milyar butir per tahun.

“Ekspor kelapa bulat ke beberapa negara Asia dan Timur tengah tidak pernah mengurangi kecukupan bahan baku baik rumah tangga maupun industri karena kita surplus dan ini bisa dibuktikan dengan melihat ketersediaan kelapa dipasar lokal apakah pernah terjadi kekurangan,” kata Tallo lagi.

Data HIPKI tahun 2015 menunjukkan Indonesia memiliki sekitar 62 Industri pengolahan kelapa . Argumen jika industri kekurangan bahan baku karena adanya ekspor adalah kesimpulan yang tidak berdasar tanpa dukungan data valid.

Indonesia tidak kekurangan bahan baku yang terjadi adalah kalangan industri tidak bisa bersaing dengan harga beli para eksportir ditingkat petani. Usulan pelarangan ekspor kelapa oleh kalangan industri sudah sering diusulkan dalam dialog antara perwakilan petani dan kalangan industri yang dimediasi oleh Kementerian Pertanian, Perdagangan, Industri atau Kementerian Kordinator Ekonomi.

Dalam setiap dialog PERPEKINDO sebagai wakil petani hanya memberikan pertanyaan sederhana berapa jumlah industri kelapa dan berapa kebutuhan per tahun. Pertanyaan tersebut sampai saat ini tidak pernah dijawab dengan data yang rinci.

Sejak awal tahun 1990, kehidupan petani kelapa jauh dari kata sejahtera terutama sejak hadirnya minyak sawit yang menggantikan posisi minyak kelapa. Disaat bersamaan kehadiran industri kelapa tidak menambah kejahteraan petani bukan hanya tidak terserapnya semua hasil panen tapi juga harga beli oleh kalangan industri dibawah biaya produksi.

Tidak sejahteranya petani kelapa sudah berlangsung puluhan tahun karena rendahnya harga jual. Keadaan ini mulai berakhir ketika mulai ekspor kelapa bulat karena harga beli eksportir melebihi harga beli kalangan industri.

Baca Juga:  Menkeu Melantik Eddy Abdurrachman sebagai Dirut BPDPKS

“ Kami ingin sejahtera, itu adalah kata hati petani kelapa sejak lama. Siapa yang akan menjamin kelapa petani akan diserap oleh industri jika ekspor ditutup. Bisa saja yang akan terjadi harga secara nasional disekitar Rp. 1.000 – Rp. 1.200 perbutir , padahal biaya produksi menurut perhitungan Kementerian Pertanian sekitar Rp. 2.200 per buti.,” kata Tallo lagi

DPR-RI sebagai wakil rakyat bukan wakil industri sebaiknya mengkaji ulang larangan ekspor kelapa dengan mengedepankan dialog antara petani, industri, kementerian terkait dan pemerhati kelapa agar data yang diterima bisa berimbang, valid dan jujur.