2021, 29 April
Share berita:

Jakarta, Mediaperkebunan.id

Volume ekspor rempah dengan komoditas lada, vanili, pala, kayu manis tahun 2019 mencapai 650.000 ton dengan nilai USD625,3 juta. Sekitar 55-60% species rempah ada di Indonesia. Dalam ekspor rempah Indonesia menduduki posisi nomor 4 dunia. Musdhalifah Machmud, Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Agribisnis, Kementerian Perekonomian menyatakan hal ini pada peluncuran Sustainable Spices Intiative Indonesia (SSS-I).

Kontribusi rempah terhadap pembentukan PDB adalah Rp70 triliun atau 1,5%. Permintaan rempah dunia semakin tinggi dimana tingkat konsumsinya naik 2,5%/tahun. Sekitar 47% impor rempah dunia ke UE, Amerika Serikat, Jepang. UE sendiri 34% impor rempah berasal dari China, India, Indonesia, Brasil. Tahun 2050 impor rempah akan semakin meningkat.

Indonesia sendiri mengekspor 21% rempah dunia dan 34% ekspor ke ASEAN. Sistim usaha rempah Indonesia diharapkan semakin andal, inklusif, sensiitif dan dikembangkan dari hulu ke hilir. Pengembagan rempah dilaksanakan dengan korporasi petani dan sistim food estate. Korporasi petani perlu komitmen semua pihak baik petani, pemerintah dan pengusaha.

“SSI I diharapkan bisa memunculkan berbagai inisiatif baru yang dapat berkontribusi pada peningkatan sektor pangan dan agribisnis. Utamanya untuk pemberdayaan petani kecil dan meningkatkan akses peluang pasar yang berdampak positif pada kehidupan petani dan lingkungan,” katanya.

Dedi Junaedi, Direktur Pengolahan dan Pemasaran Perkebunan Ditjenbun menyatakan rempah-rempah ada yang berada dibawah pembinaan Ditjenbun, Ditjen Hortikultura dan Ditjen Tanaman Pangan. Khusus rempah dibawah Ditjenbun tahun 2020 dibanding 2019 ada peningkatan volume ekspor.

Volume ekspor lada naik 12,8%, pala 14,4%, cengkeh 83,8% dan nilainya 58,3%, sedang kayu manis nilainya meningkat 0,71%. Masalah yang dihadapi rempah adalah rendahnya produktivitas karena banyak tanaman tua, manajemen mutu dan pasar. Rempah merupakan salah satu komoditas yang masuk dalam program logistik benih 500 yaitu lada, pala, kayu manis.

Baca Juga:  Ditengah Pandemi Perkebunan Dorong Pemulihan Ekonomi

Sekarang yang jadi masalah adalah beberapa kali pala Indonesia ditolak di UE karena mengandung alfatoksin melebihi ambang batas. Padahal ketika diberangkatkan dari pelabuhan di Indonesia dan diperika oleh laboratorium yang sudah direcognise UE kandungan alfatoksin dibawah ambang batas yang ditentukan.

“ Mungkin perjalanan jauh dan lama membuat kadar alfatoksin sesampainya disana jadi lebih tinggi. Bisa juga metode pengujian, uji sampling dan alat yang digunakan di Indonesia dan UE berbeda sehingga hasilnya berbed. SSI-I diharapkan bisa mengatasi masalah ini. Eropa merupakan tujuan ekspor utama pala Indonesia,” kata Dedi.

“Saya berharap implementasi kerjasama Kementan dengan SSI-I dapat meningkatkan nilai tambah, daya saing serta akses pasar, meningkatan volume serta nilai ekspor komoditas rempah dan tanaman obat di Indonesia di pasar internasional,” kata Dedi lagi.

Dippos Naloanro Simanjuntak, Ketua SSI Indonesia, menyatakan bahwa ke depannya peluang pasar internasional untuk rempah yang berkelanjutan sangat terbuka untuk Indonesia. “Selain tujuan ekonomi, SSI Indonesia ingin agarsektor rempah dapat memberikan dampak keberlanjutan bagi kehidupan sosial dan lingkungan. Ini sangat sejalan dengan tujuan pembangunan berkelanjutan yang menjadi agenda PBB,” katanya.

Terdapat lima isu proritas yang menjadi perhatian SSI Indonesia yaitu, 1) peningkatan pendapatan petani, 2) peningkatan good agricultural practices, 3) terciptanya model perdagangan yang adil dan menguntungkan petani, 4) memastikan implementasi kebijakan pertanian berkelanjutan dengan dukungan sektor swasta dan pemangku kepentingan lainnya, serta 5) peningkatan layanan laboratorium.