2nd T-POMI
2021, 21 Juni
Share berita:

Jakarta, Mediaperkebunan.id

Peraturan Menteri Pertanian nomor 18 tahun 2021 tentang Fasilitasi Pembangunan Kebun Masyarakat Sekitar merupakan turunan PP nomor 26 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Pertanian yang merupakan turunan UU nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja. “Semangat UU Cipta Kerja adalah kemudahan investasi. Jadi kita cari jalan untuk memudahkan investasi dengan pilihan berbagai bentuk kemitraan,” kata Heru Tri Widarto, Direktur Tanaman Tahunan dan Penyegar, Ditjen Perkebunan pada FGD yang diselenggarakan oleh Perkumpulan Persatuan Organisasi Petani Kelapa Sawit Indonesia Jaya (POPSI).

Permentan ini juga lahir terkait dengan rencana perpanjangan moratorium perizinan perkebunan kelapa sawit. Evaluasi sepanjang berlakunya moratorium menunjukkan kepatuhan perusahaan terhadap fasilitasi pembangunan kebun masyarakat hanya 30-40% saja. Dengan kemudahan berbagai bentuk fasilitasi maka diharapkan kepatuhan semakin meningkat.

“Hal yang penting adalah Permentan ini tidak berlaku surut. Permentan ini hanya berlaku untuk izin baru sejak aturan ini terbit yaitu sejak 29 April 2021 . Izin perkebunan sebelumnya tetap harus memenuhi Permentan 98 tahun 2013 tentang Pedoman Perizinan Perkebunan,” kata Heru.

Pasal 12 PP 26/2021 menetapkan bahwa kewajiban ini berlaku bagi perusahaan perkebunan yang mendapat perizinan berusaha untuk budi daya yang seluruh atau sebagian lahannya berasal dari areal penggunaan lain yang berada di luar HGU atau/dan area yang berasal dari pelepasan hutan.

“Kalau HGU sudah ada saringannya di BPN. Ketika mereka memperpanjang HGU maka BPN akan mengevaluasi apakah fasilitasi kebun masyarakat 20% dari luas HGU sudah dilaksanakan atau belum. Kalau belum maka HGU perpajangan otomatis akan dikurangi 20% untuk fasilitasi kebun masyarakat,” kata Heru.

Fasilitasi pembangunan kebun masyarakat ini harus dilakukan paling lambat 3 tahun sejak lahan untuk usaha perkebunan diberikan HGU. Jangka waktu tiga tahun ini menjadi dasar bagi Penilaian Usaha Perkebunan apakah perusahaan patuh atau tidak.

Baca Juga:  Harga Sawit Riau Turun Rp 50 per Kg

Fasilitasi pembangunan kebun diberikan pada masyarakat sekitar yang tergabung dalam kelembagaan pekebun berbasis komoditas perkebunan baik kelompok tani, gabungan kelompok tani, lembaga ekonomi petani dan koperasi.
Bila tidak melaksanakan maka sanksinya adalah denda, penghentian usaha sementara atau pencabutan izin.”Sanksi ini lebih efektif daripada pidana. Perusahaan lebih takut kehilangan uang atau kesempatan berusaha daripada dipenjara,” katanya.

Pasal 3 Permentan 18 menyebutkan pembiayaan fasilitasi pembangunan kebun masyarakat bisa menggunakan pola kredit baik kredit program atau kredit komersial. Untuk kredit program perusahaan bisa menjadi avalis. Kredit bisa digunakan untuk penguatan modal atau subsidi bunga. Perusahaan bisa saja negoisasi dengan bank untuk mensubsidi bunga.

Bisa juga pola bagi hasil dengan berdasarkan pendapatan atau keuntungan tergantung pada kesepakatan perusahaan dan petani, Kebun dikerjakan perusahaan di lahan petani nanti baru bagi hasil, tetapi kebun tetap milik petani sedang perusahaan hanya mengelola.Perhitungan besaran bagi hasil berdasarkan kesepakatan para pihak dalam perjanjian kerjasama dengan mempertimbangkan harga jual produk, biaya produksi dan kebutuhan rumah tangga pekebun.

Bentuk pendanaan lain berupa hibah yang diberikan kepada masyarakat dan tidak dapat dikategorikan sebagai hutang yang dibebankan kepada penerima fasilitas pembangunan kebun masyarakat. Hibah ini tidak dapat diperhitungkan sebagai biaya pelaksanaan kemitraan dan pelaksanaan tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan perkebunan.

“Bentuk kemitraan lain masuk dalam Permentan ini karena sering ada keluhan tidak ada lahan lagi untuk pembangunan kebun masyarakat. Ini menjadi alasan bagi perusahaan untuk tidak memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat,” kata Heru lagi.

Kegiatan lain ini bisa dipilih setelah ada penetapan dari kepala daerah sebagai pemberi izin yang menyatakan tidak ada lagi lahan untuk fasilitasi pembangunan kebun masyarakat. Selama kepala daerah tidak menetapkan ini maka tidak bisa jadi opsi.

Baca Juga:  Presiden Jokowi Tinjau Inovasi Minyak Makan Merah

Kegiatan yang dipilih juga berupa kesepakatan perusahaan dan pekebun baik kegiatan produktif perkebunan subsistem hulu, kegiatan budidaya, hilir, penunjang, fasilitasi kegiatan peremajaan atau bentuk kegiatan lainnya.Kegiatan lain ini diberikan pembiayaan minimal setara dengan nilai optimum produksi kebun dilahan seluas 20% dari total areal kebun yang diusahakan perusahaan perkebunan.

“Perbedaanya dengan Permentan 98 adalah minimal 20% kalau 18 pas 20%. Jadi kalau ada perusahaan punya lahan 1.000 ha , maka pembiayaanya adalah hasil optimum 200 ha, pada saat umur 7-15 tahun , misalnya Rp400 juta setahun, maka ini yang harus dialokasikan untuk kegiatan produktif perkebunan. Ini yang disebut tranparansi perusahaan, jadi tidak bisa berbohong lagi. Saat ini sedang dalam proses penetapan nilai optimum oleh Dirjen Perkebunan,” katanya.