Sertifikasi merupakan hal yang sangat penting dalam perdagangan komoditas seperti minyak sawit. Sertfikasi yang diperlukan bukan sertifikasi negara seperti ISPO dan MSPO atau swasta seperti RSPO. Tetapi sertifikasi yang diperlukan adalah sertifikasi internasional.
“Kalau ada sengketa maka WTO akan mengacu pada sertfikasi internasional. Sertifikasi internasional sawit sampai saat ini belum ada. Uni Eropa juga hanya bisa menyatakan ini itu tidak benar tetapi sertifikat yang mereka akui juga tidak ada,” kata Arif Havas Ogroseno, Dubes Indonesia untuk Jerman pada Let’s Talk About Palm Oil yang digagas Togar Sitanggang.
CPOPC (Council Palm Oil Producing Countries) harus punya agenda untuk membuat sertifikasi sustainable sawit internasional, bahkan harus jadi agenda utama. Salah satu tujuan pendirian CPOPC juga adalah membangun sertifikasi sawit sustainable internasional.
“Kalau sudah ada maka ini akan jadi referensi kalau nanti ke depan kita ada sengketa soal sawit dengan Uni Eropa, Amerika Serikat, China, India dan lain-lain,” katanya.
Ada sertifikasi lain yang belum dimanfaatkan oleh industri sawit yaitu perdagangan karbon. Dalam sawit sampai saat ini belum ada kerangka kerjanya. Di Indonesia yang sudah melakukannya adalah industri kehutanan yang menjual tangkapan karbon di areal konsesi mereka. Perusahaan-perusahaan di Jerman sudah membeli USD500 juta perdagangan karbon ini di Indonesia.
Caranya sederhana, perusahaan terbukti menyimpan karbon di konsesinya sehingga tidak terlepas ke udara, minta sertifikasi dihitung tangkapan karbon dan perkiraan harga dibawa ke pasar. Hutan mangrove harganya USD 15-16/ton karbon sedang HTI USD3/ton karbon. Industri sawit juga menangkap karbon jadi bisa masuk ke sini.
Dalam perundingan FTA (Free Trade Agreement) Indonesia dan Uni Eropa ada chapter trade and sustainable development. Bagi Indonesia chapter ini bukan apresiasi atau peranan instrumen internasional tentang lingkungan hidup atau parsitipatif, bukan bahasa multilateral umum yang tidak berdampak apa-apa.
“Tetapi kita minta sustainable produk harus bisa masuk ke pasar UE dengan tarif rendah. Ini sudah berhasil pada kayu dengan SLVK berupa market insentif. Kita copy paste saja untuk semua produk yang harus sustainable seperti sawit, ikan dan lain-lain,” katanya.
Dengan chapter ini Indonesia bisa menuntut kalau ada produk menggunakan label no palm oil. Selama ini EU berargumen itu bukan urusan mereka tetapi pasar yang membuat. Dengan chapter ini ada spesifik rule value akses sehingga bisa digugat.