Jakarta, Mediaperkebunan.id
Ketua Dewan Pengawas ASPEKPIR, Rusman Heriawan menyambut baik upaya yang akan dilakukan Dirjebun untuk meningkatkan kemitraan sampai ke hilir. Setelah para pelaku bangga dengan pengalaman masa lalunya yang berhasil, pada masa sekarang perlu dikaji bagaimana kekuatan petani plasma. Harus ada data yang konkrit bagaimana posisi plasma sekarang apakah masih bagus seperti dulu, atau semakin bagus atau semakin merosot.
Ditjenbun sudah membuka peluang kemitraan yang semakin cantik dimana petani plasma juga menjadi pemilik PKS. Pada saat ini diharapkan ada PIR model baru berdasarkan PIR model lama. Harus ada new PIR yang tujuan akhirnya adalah meningkatkan produktivitas. PSR yang semula diproritaskan pada petani swadaya pada akhirnya petani plasma juga harus ikut.
Ketua Dewan Pembina ASPEKPIR, Gamal Nasir menyatakan PIR sudah berhasil membuat petani kelapa sawit lebih maju. Sekarang eranya sudah berubah dimana istilah ini tidak lagi dipakai tetapi hanya kemitraan saja. TBS petani tetap harus diolah di PKS, sehingga kemitraan petani dan perusahaan tetap harus ada. Pola PIR perlu dikaji untuk diterapkan sekarang tentu dengan berbagai modifikasi. Aturan tentang kemitraan sudah lengkap mulai dari UU Perkebunan, Permentan 98 tahun 2013, Permentan 21 tahun 2013, jadi tinggal dilaksanakan saja.
Saat ini petani PIR banyak yang sudah waktunya untuk peremajaan. Ada yang memilih tetap bermitra dengan inti, ada juga yang memilih lepas. Petani yang memilih lepas kemitraan ada yang memang sudah maju sehingga merasa sudah mampu tetapi ada juga karena kecewa dengan inti.
Setiono, Ketua Umum ASPEKPIR menyatakan program PIR terbukti berhasil mensejahterakan petani seperti dirinya yang datang dari Jawa tidak punya apa-apa. Lewat PIR juga kelapa sawit yang semula merupakan komoditas perusahaan sekarang menjadi komoditas petani. Karena itu ASPEKPIR bersama dengan GAPKI akan membangun kembali pola PIR generasi kedua yang lebih modern dan setara antara petani dan perusahaan.
Pola PIR ini jangan ditinggalkan, karena terbukti masalah yang ada pada petani saat ini seperti masuk dalam kawasan, benih illegal, harga TBS tidak sesuai penetapan, semuanya terjadi pada petani swadaya yang tidak bermitra. Petani PIR relatif tidak mempunyai masalah seperti itu.
Achmad Mangga Barani, Ketua Forum Pengembangan Perkebunan Strategis Berkelanjutan menyatakan pola PIR yang dikembangkan sejak tahun 1980 terbukti mampu meningkatkan kesejahteraan petani. Sekarang pola PIR perlu lebih dikembangkan lagi sehingga petani memiliki saham di pabrik.
“Saya paling tidak setuju plasma lepas dari inti terus membangun pabrik sendiri. Optimalkan saja pabrik yang ada dengan kepemilikan saham plasma. Pabrik yang berdiri bersamaan dengan pendirian kebun plasma nilai bukunya sudah sangat rendah sehingga petani plasma pasti bisa ikut miliki saham. Persoalan petani selalu ada pada harga TBS , dengan memilki saham masalah ini bisa diatasi,” katanya.
Saat ini petani PIR banyak yang sudah waktunya replanting. Peremajaan harus dilakukan dengan bibit yang benar yang produktivitasnya 30-40 ton TBS/ha/tahun, juga toleran ganoderma. “Jangan lagi hanya 20-25 ton TBS/ha itu tidak akan akan mensejahterakan petani. Kepemilikan lahan juga saat ini minimal 4 ha/KK,” katanya.
Juwita dari ASPEKPIR Kalbar menyatakan salah satu aspek penting dari program PIR selain peningkatan ekonomi petani dan kemajuan daerah adalah membangun Ke-Indonesiaan. Petani transmigrasi yang datang dari Jawa hidup rukun dengan penduduk setempat dan sama-sama membangun kesejahteraan bersama. “Selain aspek ekonomi, ini pencapaian sosial yang luar biasa dari PIR,” katanya.
Saat ini yang perlu diwaspadai adalah konflik tata niaga. Beroperasinya PKS tanpa kebun membuat marak tempat penampungan TBS yang disebut loading ramp.Mereka menampung TBS dari mana saja tanpa peduli asal usulnya. Pencurian TBS yang selama ini tidak ada di Kalbar sekarang menjadi marak. Pemerintah harus tegas menindak keberadaan loading ramp ini karena tidak sesuai peraturan. Petani plasma harus punya saham di PKS.