Dahulu mengenal pertanian adalah budidaya bercocok tanam, tapi saat ini pertanian tidak sekedar berbudidaya tapi bagaimana bisa menjadikan nilai tambah dari suatu produk pertanian atau disebut dengan agribisnis.
Bungaran Saragih, Menteri Pertanian perode 2000-2004 menjelaskan bahwa pembangunan sistem dan usaha agribisnis haruslah berdaya saing, berkerakyatan, berkelanjutan, dan terdesentralisasi. Namun usaha agribisnis tetaplah harus mulai dari usaha mikro, usaha kecil, usha menengah, usaha keluarga, usaha koperasi, usaha formal dan atau informal.
“Sehingga dunia usaha agribisnis baik bergerak pada subsistem agribisnis hulu, subsistem on-fram, sub system agribisnis hilir, maupun sub system penyedia jasa untuk agribisnis di seluruh daerah mulai dari Sabang sampai ke Meraukedan dari Sangir sampai ke Kupang,” jelas Bungaran.
Namun, Bungaran mengingatkan, agribisnis yang dimaksud kali ini harus mencangkup 4 sub system. Pertama, agrbisnisnis sub system hulu yakni seluruh industri-industri yang menghasilkan barang-barang modal dan teknologi (embodied technology) subsistem agribisnis on-fram dan pemasarannya. Hal ini mencangkup industri perbenihan atau pembibitan, industri pupuk, industri pestisida, industri pakan, industri vaksin atau obat hewandan industri alat serta mesin pertanian (agro-otomotif).
Kedua, subsistem agribisnis on-farm (pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan dan kehutanan) merupakan kegiatan ekonomi usahatani yang berbasis pada proses produksi biologis tumbuhan dan atau hewan, menggunakan barang modal dan teknologi untuk menghasilkan komoditas pertanian dan pesarannya.
Ketiga, subsistem agribisnis hilir (down-stream agribusiness) merupakan kegiatan ekonomi yang mengolah komoditas pertanian menjadi produk-produk olahan baik setengah jadi (intermediate product) maupun produk jadi (finish product) beserta pemasarannya. Dalam hal ini mencakup industri-industri pengolahan bahan pangan dan food services industry.
Keempat, susbsistem penyedia jasa untuk agribisnis (services for agribusiness) yaitu kegiatan yang menghasilkan memfasilitasi dan mengelola perkembangan subsistem agribisnis hulu, subsistem agribisnis on-farm dan subsistem agribisnis hilir.
“Dalam hal ini mencakup kegiatan industri yang menghasilkan jasa bagi agribisnis seperti perbankan industri transportasi, industri logistik dan pelabuhan, lembaga penelitian dan pengembangan, lembaga pendidikan, kebijakan pemerintah,” tarang Bungaran.
Dengan paradigma ini, Bungaran berharap, bisa membangun sistem dan usaha agribisnis agar berdaya saing. Sebab salah satu strategi dan kebijakan untuk meningkatkan daya saing agibisnis adalah melalui percepatan industrialisasi agribisnis.
Strategi Huluisasi dan Hilirisasi
Adapun untuk mencapai hal tersebut ada dua cara yaitu pertama, huluisasi dan hilirisasi agribisinis. Huluisasi ini dimaksudkan untuk memperkuat susbsistem agribisnis hulu. Sedangkan hilirisasi dimaksudkan untuk mengolah komoditas pertanian menjadi produk olahan agar nilai tambah makin besar dinikmati didalam negeri dan ekspor berubah menjadi produk-produk olahan.
Kedua, lanjut Bungaran, perubahan teknologi agribisnis dari teknologi factor-driven (natural resources and unskill labor) kepada teknologi capital-driven (capital and semi-skill labor) kemudian ke teknologi innovation-driven (knowledge and creative labor)
Artinya, pada fase factor-driven sumber pertumbuhan pertumbuhan utamanya yaitu dari seumber daya alam dan sumber daya manusia (SDM) yang belum terdidik. Sehingga pada fase capital-driven sumber pertumbuhan utama beralih dari sumber daya alam dan SDM kurang terdidik kepada produktivitas dan nilai tambah.
Sedangkan pada fase innovation driven sumber pertumbuhan utama adalah dari inovasi pada segala aspek agribisnis. “Fase innovation driven ini tanpa batas. Sepanjang inovasi masih berkembang, fase ini akan berlangsung terus menerus,” ungkap Bungaran.
Lebih lanjut, Bungaran menegaskan, agribisnis tidak hanya harus berdaya saing tapi juga harus berkerakyatan. Artinya semua usaha-usaha agribisnis harus berada di tangan rakyat di seluruh daerah. Namun disinilah titik lemah selama ini. Para petani, peternak, dan nelayanhanya bergerak dan menguasai kegiatan yang umumnya bernilai rendah yakni on farm. Hal ini karena para petani belum dilibatkan dalam kegiatan agribisnis yang bernilai tambah besar yakni pada off farm.
Dalam hal ini maka strategi dan kebijakan yang diperlukan adalah pengembangan koperasi agribisnis rakyat sebagai organisasi kolektif petani sehamparan. Sehingga urusan budidya tetap menjadi urusan masing-masing anggota secara mandiri.
“Sedangkan koperasi agribisnis rakyat menangani kegiatan ekonomi diluar usaha budidaya dan memiliki skala ekonomi seperti pengadaan pupuk, bibit, pembiayan, pengangkutan danpemasaran hasil,” ucap Bungaran.
Lebih lanjut, Bungaran menghimbau, agar koperasi agribisnis secara bertahap harus masuk ke subsistem agribisnis hulu dan subsistem agribisnis hilir baik secara mandiri maupun melalui sinergi investasi (joint venture) dengan pelaku agribisnis hulu dan hilir lainnya. Koperasi agribisnis rakyat perlu difasilitasi pemerintah untuk ikut memiliki saham pada industri pupuk dan pembibitan bahkan pada lembaga perkreditan (huluisasi). Demikian juga pada subsistem agribisnis hilir koperasi agribisnis rakyat perlu difasilitasi pemerintah agar ikut memiliki saham pada industri pengolahan dan pemasaran (hilirisasi).
“Dengan demikian para petani melalui koperasinya akan ikut menikmati nilai tambah pada kegiatan off farm. Cara yang demikian juga merupakan bagian dari perlindungan (natural hedge) ekonomi petani,” papar Bungaran.
Berkelanjutan itu Penting
Tidak hanya itu, Bungaran mengingatkan, hal yang paling penting yaitu usaha agribisnis tidak hanya berdaya saing dan berkeyakyatan, tapi juga berkelanjutan. Maka agar usaha agribisnis bisa berkelanjutan maka diperlukan kebijakan tata ruang berkelanjutan dan teknologi ramah lingkungan sehingga dapat menjaga kelestarian lingkungan dan agribisnis secara lintas generasi.
Kemudian satu lagi hal yang peling penting selain berdaya saing, berkerakyatan, dan berkelanjutan tapi juga harus dikembangkan secara terdesentralisasi. Sehingga selain tuntutan dari kebijakan desentralisasi (otonomi daerah), desentralisasi pengembangan agribisnis juga keharusan karena sumber daya agribisnis itu sendiri yang tersebar di seluruh daerah. “Sebab agribisnis disetiap daerah berbeda-beda jenis maupun stages of development sehingga persoalannya pun berbeda-beda antar daeerah,” pungkas Bungaran. YIN