Berbicara bagaimana kondisi gula di tahun 2018 maka harus dilihat kembali kondisi di tahun 2017. Adapun permasalahan ditahun 2017 kemarin, ada lima sebab.
Hal tersebut diungkapkan oleh Direktur Eksekutif Nusantara Sugar Community (NSC), Colosewoko kepada perkebunannews.
Pertama, menurut Colosewoko, mengingat sebagian besar gula yang ada berasal dari petani, maka animo petani menanam tebu sangat menentukan kondisi gula.
Seperti diketahui tahun 2017 kemarin animo petani agak terganggu dengan adanya kebijakan mengenai pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 10 persen ditingkat pedagang pembeli gula tani. Dalam hal ini kalau petani menjual maka pedagang akan terkena PPN sebesar 10 persen yang berdampak pada petani.
“Tapi akhirnya tidak jadi dikenakan karena ada suara dari pedagang dan petani , jika hal tersebut diberlakukan maka akan berdampak kepada pengurangan pendapatan petani. Meskipun akhirnya kebijakan tersebut tidak jadi diberlakukan namun ikut mempengaruhi petani.” ungkap Colosewoko yang juga mantan PLh Sekretaris Dewan Gula Indonesia (DGI).
Kedua, lanjut Colosewoko, masalah Standar Nasional Indonesia (SNI) gula. Pemerintah melakukan sidak terhadap gula-gula yang tidak memenuhi SNI (gula berubah warna kekuningan dalam penyimpanan karena efek pengolahan sulfitasi dan akhirnya disegel. Akibatnya gula-gula yang tidak memenuhi SNI tersebut terpaksa harus diolah kembali agar bisa memenuhi SNI.
Padahal sebagian besar gula tersebut adalah milik petani dan milik PTPN. Jadi untuk mengolah kembali akan membutuhkan biaya dan hal itu sangat memberatkan petani dan perusahaan.
“Sehingga dengan diolahnya kembali gula tersebut berdampak kepada penundaan pembelian ole Bulog dan pembayaran kepada petani, dan itu sangat memukul petani,” keluh Colosewoko.
Ketiga, tambah Colosewoko, masalah penetapan harga referensi untuk dibeli Bulog. Bulog membeli dari petani dengan harga Rp 9.100,-/kilogram yang kemudian direvisi menjadi Rp 9.700,-/kg. Namun yang menjadi pertanyaan adalah penetapan harga tersebut tidak ada penjelasan yang lebih detail seperti penetapan HPP (harga pokok penjualan) sebelumnya. Bolehkah pedagang lain membeli diatas/dibawah harga itu, bila Bulog tidak membeli?
Bahkan, penetapan pembelian gula oleh Bulog tersebut diikuti dengan ketentuan yang boleh menjual dalam bentuk curah ataupun karungan hanyalah Bulog. Disinilah timbul masalah, karena Bulog pada kenyataannya tidak bisa beroperasi dengan cepat.
“Jadi bagaimana dengan pedagang yang ingin menjual karena ketentuan yang bisa menjual curah hanyalah Bulog, tapi Bulog sendiri operasi yang dijalankan nya lambat” risau Colosewoko.
Keempat, imbuh Colosewoko, yaitu masalah ketentuan harga eceran tertinggi (HET) ditingkat konsumen dengan harga Rp 12.500,-/kg. Semua merek gula tertinggi diangka Rp 12.500,-/kg dan ini berpengaruh juga kepada pendapatan petani.
“ Akibatnya, menimbulkan kondisi dimana petani tidak termotivasi menanam tebu,karena tidak berdaya saing”risau Colosewoko.
Kelima, kata Colosewoko yaitu penutupan 5 unit pabrik gula (PG) di tahun 2017. Sebab dengan penutupan PG justru berdampak pada pengurangan areal tanam. Hanya sedikit sekali yang masih bertahan menanam tebu dan pindah ke PG lain. Ini karena adanya kompetisi tanaman lain dan adanya tambahan biaya angkut dari areal tanam ke PG lain, yang menambah tidak efisien.
Sehingga di tahun 2018 ini jika 11 PG yang rencananya akan ditutup juga bukan tidak mungkin akan semakin berkurang lagi areal tanam tebu milik rakyat. “Akibatnya petani yang berada di wilayah sekitar PG tersebut akan goncang” risau Colosewoko. YIN