Yogyakarta – Memang setiap negara mempunyai hubungan dengan negara lainnya, tapi jika sudah menyangkut tentang perdagangan maka tidak ada lagi yang namanya pertemanan.
Hal itulah yang dibahas dalam Hari Perkebunan ke 60 di Instiper Yogyakarta. Sebab harus diakui tidak sedikit hasil perkebunan asal Indonesia yang dihambat masuk ke negaranya meskipun pada dasarnya Negara tersebut membutuhkannya.
“Antar negara tidak ada pertemanan, yang ada persaingan. Sehingga Indonesia harus menggunakan keindonesiaan untuk memperjuangkan sawit di kancah internasional,” kata Pengamat politik, J. Kristiadi dalam diskusinya.
Melihat permasalahan tersebut, Kristiadi menghimbau kepada pelaku usaha perkebunan baik petani ataupun industri serta pemerintah sebagai pemangku kebijakan untuk memperkuat dan meyakinkan pihak asing, bahwa Indonesia sangat berkomitmen dalam melakukan praktik budidaya perkebunan.
Diantaranya perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan yang dibuktikan melalui sertifikat Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO). Di mana hingga saat ini jumlah sertifikasi ISPO yang telah diterbitkan adalah 346 dengan luas lahan 2.041.548,80 hektar dengan total produksi CPO mencapai 8.757.839,40 ton.
Angka tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan sertifikasi yang dikeluarkan oleh Rountable Sustainable Palm Oil (RSPO) yang hanya sekitar 1,9 juta hektar.
“Melihat angka tersebut, artinya negara luar hanya ingin menghalangi produk perkebunan asal Indonesia masuk ke negaranya,” papar Kristiadi.
Sebab, lanjut Kristiadi, tidak hanya kelapa sawit yang dihalang-halangi untuk masuk ke negaranya. Dahulu komoditas kelapa pun juga seperti itu, hingga akhirnya kini menjadi lemah.
Ata dasar itulah maka sebaiknya jangan lagi sampai tertipu omongan diplomatis asing. Jangan mau menerima bantuan, dimana bantuan tersebut mempunyai kepentingan lain yang bisa melemahkan produk-produk andalan dalam negeri yaitu perkebunan.
Maka yang harus dilakukan saat ini yaitu jangan saling menyalahkan tapi saling mengisi, untuk perkebunan Indonesia negara sehingga dapat menjaga devisa. “Artinya ini adalah pilitik dagang, kalau kita bersatu maka kita bisa menguasi pasar dunia,” tutur Kristiadi.
Pernyataan tersebut disambut baik oleh Ketua Komisi IV DPR-RI, Edhy Prabowo. Bahwa sudah saatnya perkebunan Indonesia bangkit, dengan cara bersatu antara pelaku usaha dengan pemerintahan sehingga bisa lebih dihargai baik di negeri sendiri ataupun luar.
“Jadi kita sudah waktunya membangkitkan perkebunan di tuan rumahnya sendiri,” tegas Edhy.
Sebab, Edhy mengakui dahulu negara luar masuk ke wilayah Indonesia hanya untuk mencari komoditas perkebunannya bukan yang lain. Bahkan sampai sekarang pun negara luar masih membutuhkan perkebunan asal Indonesia, hanya saja negara luar menginginkannya dengan harga yang rendah.
“Sehingga jangan percaya dengan negara lain, dan saatnya kita berpikir dua kalau untuk menurutinya karena ini untuk kepentingannya,” himbau Edhy.
Hal senada, diungkapkan Direktur Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian, Bambang bahwa membangain perkebunan tidak cukup hanya colok tanam, tapi perlu ada poltik. “Kita harus mawas diri. perkebunan Indonesia dalam bahaya.
Hal itu karena siapa uang menguasai pangan dan energi dialah pengauasa, itu ada ada perkebunan. Maka sangatlah wajar jika perkebunan dikatakan sebagai sumber kemakmuaran pemipin, dan terbukti devisa yang dihasilkan dari komoditas perkebunan mencapai Rp 429 trilun yang artinya sudah melebihi devisa yang dihasilkan dari minyak dan gas yang hanya nilainya hanya Rp 365 triliun.
“Itulah mengapa perkebunan Indonesia dincar. Semua menginginkannya tapi dengan harga murah, dan sudah seharusnya kita menjaganya,” ucap Bambang.
Sementara itu, Rektor INSTIPER Yogyakarta, Purwadi membenarkan bahwa perkebunan adalah sumber
sumber kehidupan. Bahkan dari komoditas perkebunannlah banyak masyarakat yang kehidupannya telah berubah.
“Ini bukti nyata bahwa kebun sumber kemakmuran. Dan perkebunan telah mampu mampu mensejahterakannya,” pungkas Purwadi. YIN