JAKARTA, Perkebunannews.com – Pemerintah diharapkan segera mengeluarkan peraturan teknis pelaksanaan untuk mendukung Instruksi Presiden No. 8/2018 tentang moratorium izin baru perkebunan kelapa sawit, yang selama ini dianggap multi interpretasi. Adanya peraturan teknis pelaksanaan diharapkan dapat memberi kepastian hukum bagi para pelaku industri kelapa sawit nasional.
Praktisi hukum perkebunan dari Dentons HPRP Maurice Situmorang menilai, moratorium sawit yang ditetapkan pemerintah, selain memfasilitasi survei produksi sawit nasional, juga dalam rangka merangkul keinginan Uni Eropa untuk memastikan bahwa produksi sawit dalam negeri sustainable. Namun instruksi presiden itu tidak dilengkapi peraturan pelaksanaan teknis yang memadai, hingga menyebabkan ketidakpastian diantara para pelaku industri.
Menurut Maurice, peraturan tersebut juga dapat menjadi amunisi pemerintah melawan langkah Uni Eropa yang berusaha membatasi impor minyak kelapa sawit dari Indonesia, dan menerapkan cukai cukup besar kepada para eksportir minyak sawit dari Indonesia.
Lebih lanjut Maurice mengatakan, dengan aturan itu juga menunjukkan bahwa Pemerintah Indonesia tegas dalam upaya menjadikan industri perkebunan sebagai industri yang sustainable dan tetap dalam komitmennya menjaga kelestarian dan keberagaman hutan Indonesia. Petunjuk pelaksanaan yang jelas bagi pelaku Industri dapat menunjukkan kepada Uni Eropa bahwa produksi Sawit Indonesia adalah sustainable.
“Memang dari segi volume pasar Eropa tidak sebesar pasar Tiongkok atau India, namun jika kita berbicara mengenai market, kita tidak hanya mau menjual produk ke India dan Tiongkok saja. Kita mau hasil produksi kelapa sawit Indonesia dapat dipasarkan ke seluruh negara tanpa ada perbedaan atau diskriminasi ” kata Maurice.
Maurice tidak setuju dengan tuduhan Uni Eropa itu. Dana Badan Pengelola Dana Perkebunan – Kelapa Sawit (BPDP-KS), salah satunya berasal dari pungutan pemerintah ke para pengusaha sawit yang melakukan kegiatan ekspor.
“Pungutan itu kemudian dikelola dalam suatu wadah yang bertujuan untuk mengembangkan industri sawit nasional, sehingga menjadi salah kaprah kalau itu disebut atau dikategorikan sebagai bentuk subsidi, seperti yang dituduhkan,” jelas Maurice.
Selain menggugat ke WTO, Maurice meminta pemerintah agar melakukan pendekatan lain kepada Uni Eropa. “Mungkin harus dilakukan semacam political approach dengan penekanan bahwa dalam kegiatan perdagangan internasional jangan sampai ada salah satu pihak merasa superior dari yang lain,” ujarnya. (YR)