Setelah Menteri Ekologi Perancis Sigolene Royal pada Juni 2015 lalu menyerukan boikot Nutela karena menggunakan minyak sawit, Pemerintah Perancis sedang menggodok kebijakan pungutan (import levy) impor minyak sawit yang tidak masuk akal, sebagai pajak lingkungan dan kesehatan (environment tax).
Menurut rencana, Perancis akan memberlakukan pungutan impor minyak sawit secara progressif dan regresif yakni 300 euro (2017) meningkat menjadi 500 euro (2018). Kemudian tahun 2019 menarik pungutan lebih besar lagi yakni 700 euro (2019) dan 900 euro (2020) untuk setiap ton minyak sawit yang masuk ke negara tersebut. Selain itu, jika CPO digunakan untuk makanan dikenakan tambahan pajak sebesar 3.8 persen dan untuk PKO sebesar 4.6 persen.
Jika benar-benar diberlakukan pajak impor minyak sawit sebesar itu, maka sesungguhnya Perancis secara tidak langsung melarang minyak sawit masuk ke negara tersebut khususnya setelah tahun 2018. Sebab dengan pajak impor yang hampir mendekati harga rata-rata c.i.f tersebut tidak mungkin lagi ada impor minyak sawit dari negara tersebut. Tidak perduli apakah minyak sawit yang masuk telah memiliki sertifikat sustainable atau tidak. Sehingga kebijakan yang demikian sesungguhnya bentuk praktek embargo minyak sawit.
Tuduhan bahwa Perancis sedang merancang kebijakan embargo minyak sawit makin beralasan, karena kebijakan tersebut hanya berlaku untuk impor minyak sawit. Tidak berlaku bagi minyak nabati produksi domestik seperti minyak bunga matahari, minyak rapeseed, minyak kedelai dan juga tidak berlaku bagi minyak nabati selain sawit yang diimpor.
Masyarakat Perancis diharapkan menolak rencana kebijakan pemerintah Perancis tersebut yang diskriminatif, tidak adil dan tidak berdasar. Pertama, sebagaimana studi European Commission (2013) bahwa deforestasi global terbesar adalah di Amerika Selatan khususnya untuk ekspansi kedelai dan peternakan. Jika alasan pemerintah Perancis mengambil kebijakan tersebut adalah karena sawit pemicu deforestasi, mengapa untuk minyak kedelai tidak diberlakukan kebijakan yang sama?
Kedua, masyarakat Perancis jangan melupakan sejarah masa lalu bahwa deforestasi global terbesar sepanjang peradaban terjadi dikawasan sub-topis yakni kawasan Eropa (termasuk Perancis) dan kawasan Amerika Utara. Studi Matthew (1983) menemukan bahwa deforestasi dikawasan tersebut mencapai 653 juta hektar sebelum tahun 1980.
Ketiga, masyarakat Perancis juga jangan mengabaikan data emisi karbon dari bahan bakar fosil per kapita Perancis hampir lima kali dari emisi per kapita Indonesia. Menurut data International Energy Agency (2012) emisi Perancis mencapai 5.1 Kg CO2 per kapita, sedangkan Indonesia hanya 1.7 Kg per kapita. Artinya jika alasan pemberlakuan tarif impor minyak sawit adalah sebagai bentuk environmental tax maka seharusnya semua produk yang dihasilkan Perancis adalah emisi karbon tinggi sehingga perlu dikenakan environmental tax yang lebih tinggi. Bukan menghambat minyak sawit yang emisinya rendah.
Keempat, kebijakan tersebut bertentangan dengan prinsip Most Favoured Nation dan National Treatment dari WTO, yang melarang praktek diskriminasi negara maupun komoditas. Dan kelima, kebijakan tersebut juga akan mengancam ekonomi para petani sawit di Asia Tenggara dan Afrika. Perancis jangan membuka luka masa lalu rakyat Afrika sebagai eks kolonial Perancis.
Bagi pemerintah Indonesia khususnya dan MEA umumnya, perlu secara dini meyampaikan protes keras atas rencana kebijakan Perancis tersebut. Bahkan sejak dini dipersiapkan pengaduan kepada WTO dan merancang retaliasi perdagangan. Sesuai UU No. 7/2014 tentang Perdagangan (pasal 67, 68) pemerintah diwajibkan untuk mengambil tindakan yang diperlukan jika ekspor Indonesia diperlakukan tidak adil atas alasan apapun.
Ancaman retaliasi perdagangan kepada impor barang dari Perancis ke Indonesia sejak dini perlu disampaikan pemerintah. Selama ini impor dari Perancis mencakup produk susu, parfum, bahan kimia, peralatan elektronik, peralatan militer, pesawat terbang, dan lain-lain dapat diberlakukan retaliasi tarif impor tinggi. Produk-produk Perancis yang secara implisit merupakan produk beremisi karbon tinggi (embodied carbon emission) dibanding dengan produk Indonesia, dapat menjadi alasan retaliasi perdagangan dengan Perancis. Sumber : Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI)