Jakarta, mediaperkebunan.id – Industri kelapa sawit memiliki peran krusial dalam mendorong perekonomian nasional, khususnya bagi masyarakat kelas bawah dan menengah. Hal ini disampaikan oleh Dadang Gusyana, praktisi dari Perkumpulan Praktisi Profesional Perkebunan Indonesia (P3PI), dalam wawancara ekslusif Bersama Media Perkebunan pada Rabu (26/2/25) tentang masa depan sektor kelapa sawit menuju Indonesia Emas 2045.
Menurut Dadang, kelapa sawit merupakan industri padat karya yang menyerap banyak tenaga kerja, terutama dalam proses panen yang hingga kini belum bisa sepenuhnya digantikan oleh mekanisasi.
“Perekonomian rakyat bawah dan menengah sangat bergantung pada industri ini. Kita bisa lihat bagaimana daerah yang dulunya sepi seperti Sampit dan Pangkalan Bun kini berkembang pesat, bahkan sudah memiliki hotel berbintang empat,” ujarnya.
Namun, industri ini menghadapi berbagai tantangan, salah satunya adalah fluktuasi harga Crude Palm Oil (CPO) di pasar global. Dadang menyebut bahwa kebijakan proteksi negara lain, seperti India yang mulai mengurangi impor CPO akibat peningkatan produksi minyak bunga matahari domestiknya, menjadi faktor yang harus diantisipasi.
“Strategi pengembangan biofuel seperti B50, B60, hingga B100 sudah tepat, tinggal bagaimana penanganannya di industri hilir agar optimal,” tambahnya.
Selain itu, industri kelapa sawit juga harus memperhatikan pengolahan produk turunannya, seperti oleochemical dan palm kernel oil (PKO), yang memiliki nilai ekonomi lebih tinggi dibandingkan CPO.
Dalam rangka mendukung visi Indonesia Emas 2045, Dadang menekankan pentingnya penerapan prinsip keberlanjutan dalam setiap perkebunan. “Bukan sekadar sertifikasi, tapi bagaimana praktik di lapangan benar-benar berkelanjutan,” katanya.
Salah satu isu utama yang dihadapi industri sawit saat ini adalah penyakit ganoderma, yang dapat diatasi dengan menerapkan sistem pertanian regeneratif dan rotasi pupuk antara kimia dan organik, pupuk bio seperti Mycovir, MyTrico, Hyphos45 dan penggunaan bahan organik asal sawit seperti abu janjang yang kaya akan K₂O.
Terkait kampanye negatif terhadap sawit, khususnya dari Uni Eropa melalui regulasi European Union Deforestation Regulation (EUDR), Dadang menyatakan bahwa hal ini lebih merupakan ancaman bagi pasar ekspor ke Eropa yang hanya mencakup sekitar 10-15% dari total ekspor CPO Indonesia.
“Selama kita bisa memperluas pasar hingga 80-90% ke negara lain, dampak kampanye hitam ini tidak terlalu signifikan,” tegasnya.
Dadang juga menyoroti perlunya perbaikan dalam penerapan standar Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) dan Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO).
Ia mengingatkan agar kedua sertifikasi ini tidak hanya menjadi formalitas administratif, tetapi harus menjadi bagian dari kebiasaan industri. “Jangan hanya sibuk melengkapi dokumen ketika ada audit. Kesadaran akan keberlanjutan harus menjadi budaya dalam industri ini,” katanya.
Untuk menjadikan kelapa sawit sebagai sektor unggulan menuju Indonesia Emas 2045, Dadang mengajukan beberapa rekomendasi. Pertama, penyederhanaan regulasi agar tidak terlalu banyak aturan yang membebani industri.
Kedua, pembentukan kementerian khusus yang menangani sektor perkebunan, termasuk sawit, kakao, dan tebu. Ketiga, pengembangan solusi agronomis yang lebih efektif dan efisien dalam menangani hama dan penyakit tanaman agar industri tetap kompetitif di pasar global.
“Produksi sawit terus meningkat, tetapi kita juga harus bisa bersaing dengan minyak nabati lain seperti kanola dan minyak biji bunga matahari. Kenaikan biaya tenaga kerja, BBM, dan pajak juga harus diperhitungkan agar industri ini tetap kompetitif,” pungkasnya.
Dengan langkah strategis yang tepat, industri kelapa sawit dapat terus menjadi pilar utama ekonomi Indonesia dan berkontribusi dalam pencapaian visi Indonesia Emas 2045.