Bogor, Mediaperkebunan.id’
Ketua Umum Perhimpunan Agronomi Indonesia (PERAGI), Prof. Dr. Ir. Andi Muhammad Syakir, menyampaikan bahwa sektor perkebunan sawit di Indonesia harus tangguh mempertahankan posisi sebagai penghasil minyak sawit nomor 1 dunia dengan ekspor lebih ke 150 negara. Perkebunan sawit Indonesia jangan sampai gamang menghadapi tekanan multidimensi seperti politik dagang negara maju, kesenjangan hasil yang masih tinggi secara agronomis, maupun deraan anomali iklim global. Hal ini disampaikan Syakir pada monthly focus group discussion (FGD) seri 2 PERAGI pada Selasa (8/08) di Bogor.
Sebagai pusat produksi sawit terbaik, Indonesia dan Malaysia menjadikan posisi produk sawit Indonesia sangat unggul di pasar dunia dengan produksi yang melimpah serta harga yang kompetitif. Hal ini sangat berdampak terhadap perekonomian Indonesia termasuk perkebunan besar maupun perkebunan rakyat. Proporsi kepemilikan sawit di Indonesia antara perkebunan besar dan perkebunan rakyat berbanding 60:40 atau hampir berimbang. “Perkebunan sawit saat ini paling tangguh dibanding komoditi perkebunan lainnya dan sektor pertanian lainnya. Jangan sampai lesu hanya gara-gara politik dagang dan deraan iklim global,” harap Syakir.
Direktur Pengolahan &Pemasaran Hasil Perkebunan Ditjen Perkebunan, Dr. Prayudi Syamsuri, SP., MSi, mengungkap Pemerintah Indonesia terus bergerak merespon kebijakan khusus menghadapi politik dagang yaitu EU Deforestasion-Free Regulation (EUDR). “Indonesia berjuang agar sertifikasi di Indonesia yaitu Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) diakui Uni Eropa sehingga dapat masuk ke pasar sana. Sebaliknya kita juga berjuang agar ISPO dapat diterapkan oleh para petani sawit Indonesia,” kata Prayudi. Hal itu penting mengingat sawit adalah masa depan Indonesia yang mempekerjakan 12-juta lapangan kerja tak langsung di Indonesia. Jumlah itu setara dengan penduduk DKI Jakarta.
Dwi Asmono, PhD, Direktur Penelitian, Pengembangan, dan Keberlanjutan PT. Sampoerna Agro Tbk, yang juga sebagai Direktur Eksekutif PERAGI Institut, menyatakan setiap negara memiliki komoditi utama yang menjadi andalan di pasar dunia, misalnya Indonesia unggul sebagai produsen minyak sawit, Brazil dengan minyak kedelai. Uni Eropa dengan minyak rapeseed dan Ukraina dengan minyak biji matahari. Namun anehnya hanya sawit yang selalu menjadi sasaran issue negative terkait kelestarian lingkungan. Padahal luas panen untuk minyak kedelai mencapai 127 juta ha, sementara luas panen untuk sawit hanya 22,5% dari luasan tersebut”.
Produktivitas minyak sawit merupakan penghasil minyak nabati yang tertinggi. Sawit dapat menghasilkan minyak 5 ton per ha, dibandingkan minyak rapeseed hanya 0,8—0,9 ton per ha, minyak biji matahari 0,7-0,8 dan kedelai yang hanya 0,5—0,6 ton per ha. “Tidak ada negara selain Indonesia dan komoditi selain sawit yang mampu menghasilkan minyak paling efisien dan paling ramah lingkungan,” pungkas Dwi Asmono. Dengan kata lain, untuk mendapatkan minyak nabati dari tanaman yang lain seluas 1 hektar dibutuhkan lahan hanya seluas seperenam — seperdelapan saja untuk kelapa sawit.
Namun, keunggulan kompetitif Indonesia pada sawit terus perlu diupayakan karena adanya perubahan dan anomali iklim. Sejumlah riset memodelkan jika temperatur meningkat 1oC maka akan terjadi kehilangan produksi minyak 10,17%. Bahkan bila temperatur meningkat 2oC, 3oC, dan 4oC maka kehilangan produksi minyak dapat mencapai 20,38%; 30,55%; dan 40,75%.
Para pakar PERAGI merekomendasikan 3 langkah kunci bagi Indonesia untuk menyiapkan strategi mempertahankan dan menjaga daya saing kelapa sawit. Pertama, mempromosikan dan menerapkan perkebunan sawit Indonesia yang ramah lingkungan beserta instrumen dan bukti yang dapat ditelusuri. Instrumen dan bukti tersebut sedapat mungkin paralel dengan persyaratan yang diminta oleh negara-negara importir minyak sawit.
Kedua, menerapkan teknologi dan inovasi terkini termasuk menerapkan best manajemen practice (BMP) untuk mengurangi kesenjangan antara potensi hasil dengan hasil aktual rata-rata sawit nasional yang mencapai 38%. Menurut Prof. Fahmuddin Agus, pakar pengelolaan lahan dari Pusat Riset Hortikultura dan Perkebunan OR Pertanian dan Pangan, BRIN, masih terdapat peluang yang besar untuk meningkatkan produksi karena attainable production masih 42% dari potential production. Saat ini senjang hasil terbesar berasal dari perkebunan rakyat, dan apabila kesenjangan tersebut diatasi maka produksi bisa naik lebih dari 34% dengan menerapkan menerapkan best manajemen practice (BMP) tanpa perlu perluasan kebun. Perusahaan perkebunan dapat membantu perkebunan rakyat melakukan transformasi untuk memperkecil kesenjangan hasil.
Ketiga, melakukan mitigasi dan adaptasi anomali iklim dengan sistem pengelolaan kebun yang smart climate baik antisipasi kekeringan maupun kelebihan air. Pada musim kering area perkebunan sawit rentan terbakar sehingga membutuhkan kesiagaan tim pencegah kebakaran. Demikian sumber-sumber air untuk irigasi perlu disiapkan di samping upaya pengelolaan lahan secara konservasi yang berkemampuan memiliki daya pegang air yang baik. Sebaliknya di musim hujan diperlukan tata air yang dapat berfungsi sebagai drainase dan juga mengkonservasinya di wilayah tangkapan air sebagai upaya untuk memanen air (water harvesting).