2017, 15 Mei
Share berita:

Ketua Dewan Pembina APTRI (Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia), Arum Sabil, menyatakan kalau masalah gula tidak dapat diselesaikan maka masalah pertanian dan peternakan di Indonesia pasti juga tidak dapat diselesaikan. “Penyelesaian masalah gula paling gampang, sistemnya sudah ada dan berjalan. Kalau gula bisa diselesaikan maka masalah pertanian dan peternakan juga bisa diselesaikan,” katanya seusai penutupan Rakernas APTRI.

Petani tebu pasti punya daya saing apabila produktivitas 100 ton dan rendemen 10%. Kalau hal ini sudah bisa maka gula yang dihasilkan petani pasti berdaya saing karena biaya produksi dibawah Rp8000/kg.

Masalahnya petani tidak mampu mencapainya, karena bibit unggul susah didapat. Pupuk juga masih menjadi masalah. Petani masih sulit mendapatkan pupuk tepat waktu, juga permodalan petani masih menjadi masalah. Apalagi ada pembatasan hanya petani yang luas lahanya 2 ha saja yang mendapat bantuan.

Kredit juga jadi masalah setelah KKPE tidak ada, petani jadi sulit memperoleh kredit. APTRI minta ditetapkan skema khusus kredit usaha tani tebu serta sistem distribusi, penyaluran, penebusan pupuk dengan sistem avalis pabrik gula tanpa jaminan dan tanpa pembatasan kepemilikan lahan.

Hancurnya irigasi harus diperhatikan pemerintah dengan memperbaikinya. Ketersedian pupuk, kredit dan air mutlak untuk meningkatkan produktivitas tebu. Pabrik gula juga harus direvitalisasi bersamaan dengan revitalisasi tebu.

Arum juga menyoroti Peraturan Menteri Perindustrian nomor 10 tahun 2017 tentang Fasilitasi Memperoleh Bahan Baku Dalam Pembangunan Industri Gula. Dalam Permen ini industri gula baru pada tahun pertama bila bisa memenuhi 20% bahan baku dari tebu maka 80% bahan baku untuk memenuhi kapasitas giling bisa menggunakan gula kristal mentah impor. Izin impor sampai 7 tahun.

Baca Juga:  44 Sertifikat ISPO Akan Diserahkan di Hari Perkebunan Ke-61

Permenperin ini terindikasi sebagai kedok untuk melegalkan impor gula mentah , bahkan kebijakan ini merupakan hasil produk persengkokolan antara oknum pengusaha dan oknum penentu kebijakan. Pemerintah harus mengevaluasi PG baru ini kalau perlu cabut ijinnya dan tutup Pgnya bila hanya digunakan sebagai kedok saja. Sedang izin impor gula rafinasi harus didasarkan pada kebutuhan.

Arum juga minta P3GI yang melakukan tugas mulia untuk menghasilkan bibit unggul diperhatikan pemerintah masalah status dan pembiayaannya. Sekarang sedang berada dalam kondisi darurat sehingga bagaimana bisa menghasilkan penelitian yang bagus.

Membuktikan komitmen pemerintah terhadap gula berdaya saing cukup dilihat pada P3GI saja. Kalau riset diperhatikan dengan memberi biaya berarti pemerintah laksanakan komitmennya.