Jakarta, mediaperkebunan.id – Pertemuan antara Himpunan Industri Pengolahan Kelapa Indonesia (HIPKI) dan Menteri Perindustrian (Menperin), Agus Gumiwang Kartasasmita beberapa waktu yang lalu akhirnya mengungkap beberapa penyebab mahal dan langkanya stok kelapa bulat di dalam negeri.
Saat ini, kata Menperin seperti dikutip Mediaperkebunan.id dari laman resmi Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Sabtu (3/5/2015), kelapa Indonesia lebih cenderung diekspor dalam bentuk kelapa bulat karena belum ada regulasi tata niaganya.
“Eksportir tidak dipungut pajak, sedangkan industri dalam negeri saat membeli kelapa dari petani justru dikenakan pajak PPh pasal 22,” ungkap politisi dari Partai Golongan Karya (Golkar) ini.
Situasi ini, sambung putra dari Ginanjar Kartasasmita, menteri di era Orde Baru, itu membuat kondisi lapangan atau playing field antara eksportir dengan industri kelapa dalam negeri menjadi tidak sama.
“Kebutuhan konsumsi, utamanya untuk rumah tangga dan industri kecil dan menengah (IKM) adalah sekitar dua miliar butir kelapa per tahun,” tutur Agus Gumiwang Kartasasmita lebih lanjut. Karena, kata dia, sekarang penyebab nya kelapa banyak diekspor ke negara lain dan akhirnya terjadi kekurangan suplai kelapa di pasar-pasar tradisional di berbagai daerah di Indonesia.
“Sehingga situasi ini membuat kenaikan harga kelapa dan konsumen rumah tangga menjadi korban atas kenaikan harga tersebut,” beber Menperin Agus Gumiwang Kartasasmita.
Dia juga mengatakan bahwa ekspor dalam bentuk kelapa bulat dari Indonesia ke negara lain dikhawatirkan menggeser pasar produk hilir kelapa Indonesia yang selama ini kuat di pasar global.
Kata Agus Gumiwang Kartasasmita, kalau hal itu terjadi maka produk hilir kelapa dari negara kompetitor yang bahan bakunya dari Indonesia justru akan mengisi pasar global. Produk-produk yang dimaksud, ungkap Menperin Agus Gumiwang Kartasasmita, antara lain adalah minyak kelapa, desiccated coconut, nata de coco, konsentrat air kelapa, arang aktif, dan briket.
Dia menjelaskan, pangsa pasar ekspor produk kelapa pada tahun 2024 adalah sebesar USD 2 miliar, dan 85 persen di antaranya merupakan produk olahan kelapa. Apabila kondisi kelangkaan bahan baku yang melanda industri pengolahan kelapa terus berlanjut, Agus Gumiwang Kartasasmita cemas negara dapat berpotensi kehilangan devisa hasil ekspor industri pengolahan kelapa dan dikhawatirkan akan berdampak kepada sekitar 21 ribu pekerjanya.
Menperin terus berkoordinasi secara intensif bersama dengan pelaku usaha dan asosiasi kelapa untuk mencari solusi terkait supply and demand kelapa bulat dengan tetap mengedepankan kesejahteraan petani.