2022, 10 November
Share berita:

Kuala Lumpur, Mediaperkebunan.id

Meningkatkan kesejahteraan petani dan mitigasi perubahan iklim merupakan dua sisi mata uang dalam pencapaian sustainabilitas kelapa. Sustainability (keberlanjutan) bisa dicapai ada penghitungan (akuntasi) yang tepat dan praktis, baik pada aspek keuangan, energi, dan karbon dalam sistim produksi kelapa. Joko Purbopuspito, Dosen Universitas Sam Ratulangi Manado menyatakan hal ini dalam paparannya pada International Cocotech di Kuala Lumpur 8 November 2022.

Penghitungan input-output (masuk-keluar)-nya karbon dalam sistem usaha tani kelapa masih berada di tahap awal sekali untuk mencapai ekonomi hijau kelapa. Banyak sekali pilot proyek yang diperlukan untuk membuktikan perekonomian rendah karbon dan ketahanan iklim sebagai tulang punggung ekonomi hijau sesuai perencanaan negara Indonesia.

Luas areal kelapa di Indonesia 3,4 juta ha dan 99% merupakan perkebunan rakyat dan sampai sekarang masih berjuang untuk mencapai budidaya kelapa yang baik (Good Coconut Farming Practices) bersama-sama dengan produsen kelapa lainnya. Beberapa hambatan dan kendala penyebab budidaya kelapa yang baik, belum secara maksimal berkontribusi terhadap pengembangan keanekaragaman hayati, produktivitas perkebunan kelapa, mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, dan peningkatan kesejahteraan petani.

Untuk meningkatkan keanekaragaman hayati kebun kelapa maka perlu dilakukan tumpang sari pada perkebunan kelapa yang sudah berumur, sehingga juga meningkatkan pendapatan petani kelapanya. Tantangannya optimalisasi tanaman secara tumpang sari yang sangat bergantung pada umur tanaman kelapa dan juga komoditas yang ditumpangsarikan.

Sementara peningkatan produktivitas kelapa bisa dicapai kalau ditanam secara intensif dengan sistem monokultur. Keseimbangan ekonomi antara monokultur kelapa dan polikultur tumpangsari kelapa tergantung pada beberapa aspek seperti kondisi dan iklim, tingkat keterampilan planter, input yang diperlukan dan keuntungan yang diinginkan.

Pedoman budidaya kelapa yang baik diatur lewat Permentan 130 tahun 2014 secara monokultur. Tetapi dalam Permentan 57 tahun 2022 juga mengatur tentang tumpang sari tanaman kelapa. Untuk tanaman monokultur intensif biasa ditanam dengan jarak tanam 8,5 x 8,5 x 8,5 m (segitiga) berpopulasi 160 pohon/ha, atau 8,5 x 8,5 m (bujur sangkar) dengan populasi 139 pohon/ha, sedangkan pada polikutur akan berjarak tanam 6 x 16 m yang berpolulasi kelapa 102 pohon/ha. kekurangan hasil ekonomis dari 58 pohon produksi kelapa haruslah ditutupi oleh hasil ekonomis komoditas tumpangsarinya.

Studi Unsrat menunjukkan biaya produksi budidaya kelapa berumur tua yang sudah menghasilkan paling rendah memang monokultur yaitu Rp.4,45 juta/ha, sedang tumpang sari kelapa tua itu dengan rambutan biaya Rp.5,98 juta/ha, dengan pisang Rp.4,98 juta/ha, dengan jagung Rp.13,11 juta/ha, dengan cabe Rp10,66 juta ha, dan dengan padi Rp.11,3 juta/ha. Biaya tenaga kerja adalah adalah biaya yang paling tinggi, yaitu: monokultur 77,8%, kelapa rambutan 82,83%, kelapa pisang 80,13%, kelapa jagung 54,75%, kelapa cabe 63,73%, kelapa padi 56,68% dari total biaya keseluruhan.

Pendapatan monokultur dengan asumsi produksi kopra 1.116 kg/ha, dengan harga kopra Rp6.500/kg hanyalah sebesar Rp.7,579 juta, sehingga keuntungan pekebun hanya Rp.3,129 juta/ha/tahun. Tumpangsari Kelapa-Rambutan dengan produksi kopra 1.117 kg , dan produksi rambutan 1.320 kg harga rambutan Rp.4.000 memberi pendapatan pekebun dari kopra Rp.7,260 juta, ditambah pendapatan dari rambutan Rp.5,28 juta dengan total penghasilan Rp12,54 juta dan keuntungan Rp.6,325 juta/ha/tahun. Tumpangsari Kelapa-Pisang, produksi kopra 1.112 kg, pisang 112 kg, asumsi harga pisang Rp40.000/kg memberi pendapatan pekebun dari kopra Rp.7,293 juta, dan dari pisang Rp.4,48 juta sehingga total Rp.11,773 juta, keuntungan Rp.6,793 juta/ha/tahun.

Tumpangsari Kelapa-Jagung, memberi produksi kopra 1.075 kg/ha, dan jagung 3.860 kg, dengan harga jagung Rp4000/kg memberikan pendapatan dari kopra Rp6,987 juta, ditambah dari jagung Rp.15,44 juta, berjumlah Rp.22,427 juta, sehingga keuntungan petani sebesar Rp.9,317 juta/ha/tahun. Tumpangsari Kelapa-Cabe memberikan produksi kopra 1.054 kg, dan cabe 333 kg, harga cabe Rp50.000/kg, pendapatan kopra Rp.6,851 juta, plus cabe Rp.15,44 juta dengan total Rp.23,651 juta dan keuntungan petani Rp.12,991 juta/ha/tahun. Kombinasi Kelapa-Padi ladang, memberi produksi kopra 1.107 kg, padi 4.100 kg, harga padi Rp4.500/kg, sehingga pendapatan dari kopra Rp.7,195 juta, dan padi Rp.18,54 juta berjumlah Rp25,735 juta, dengan keuntungan Rp14,435 juta/ha/tahun.

Dari penelitian ini, budidaya tumpangsari Kelapa-Pisang memberikan rasio keuntungan/modal (Benefit/Cost Rasio, BCR) yang terbesar untuk tanaman tahunan, sedang budidaya tumpangsari Kelapa-Jagung memberikan rasio keuntungan/modal (Benefit/Cost Rasio, BCR) yang terkecil untuk tanaman semusim.