T-POMI
2023, 13 Januari
Share berita:

JAKARTA, Mediaperkebunan.id – Pengukuhan kawasan hutan mesti melalui proses yang lengkap. Jika hanya ‘menunjuk’ adalah tindakan otoriter.

Mahkamah Konstitusi menyatakan kalau hanya ‘menunjuk’ terus disebut sebagai kawasan hutan adalah tindakan yang ‘otoriter’. Padahal, tanpa ada proses yang lengkap penunjukan, penataan batas, pemetaan dan penetapan, maka pengukuhan kawasan hutan belum selesai.

“Karena pengukuhan kawasan hutan adalah untuk memberikan kepastian hukum tentang kawasan hutan itu sendiri,” jelas Pakar Hukum Kehutanan dan Pengajar Fakultas Hukum Universitas Al Azhar Indonesia Jakarta, Dr Sadino, SH, MH Sadino di Jakarta, Jumat (13/1).

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dalam melakukan pengukuhan kawasan hutan setidaknya ada empat proses yang harus dilalui. Diantaranya, penunjukan kawasan hutan, penataan batas kawasan hutan, pemetaan kawasan hutan dan penetapan kawasan hutan. Tanpa melalui proses tersebut tak ada kawasan hutan.

Sadino mengatakan, selama ini dengan ‘menunjuk’ seolah telah selesai aktivitas penentuan suatu lahan yang akan menjadi Kawasan hutan.

“Pemerintah lupa bahwa ‘menunjuk’ tanpa dilanjutkan sampai penetapan melalui pengukuhan kawasan hutan adalah bersifat ‘inferatif’ yang harus dijalankan pemerintah,” tukas Sadino.

Menurut Sadino, pengukuhan dengan tahapannya merupakan bentuk pelaksanaan administrasi pemerintahan. Jika tidak dijalankan dan telah ada ketentuan hukum lain, maka status ‘menunjuk’ kawasan hutan posisinya sangat lemah.

“Tidak seharusnya pengukuhan suatu kawasan hutan yang menguasai hajat hidup orang banyak, hanya dilakukan melalui penunjukan. Amar Putusan Mahkamah Konstitusi menyatakan Frasa ‘ditunjuk dan atau’ tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” tegas Sadino.

Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Profesor Dr Budi Mulyanto mengingatkan dasar dari penetapan kawasan hutan adalah pengukuhan, dan bukan penunjukan seperti selama ini diterapkan.

Baca Juga:  PARAKUAT MASIH DIBUTUHKAN PETANI

“Konsep penunjukan yang selama ini diberlakukan, punya persoalan, yakni terlihat legal tapi tidak legitimate atau pengakuan sangat rendah dari masyarakat,” ujar Budi.

Menurut Budi, persoalan tata batas selalu tidak tuntas, karena dalam praktiknya terdapat dualisme kebijakan pertanahan di Indonesia.

Prof Budi kembali mengingatkan soal HGU adalah Hak Atas Tanah (HAT) dan bukan izin, yang didasarkan pada Undang-Undang No. 5/1960 beserta peraturan-peraturan turunannya. Lantaran merupakan HAT atau Right, HGU mempunyai kewenangan konstitusional yang diikuti untuk harus melaksanakan berbagai peraturan-perundangan yang berlaku dan tanggung jawab.

“Jika sudah mendapat HGU, apalagi kalau lahan tersebut sudah menjadi kebun yang bagus dan ditanami, sebaiknya tidak boleh diganggu gugat. Terus apa artinya kemudahan usaha dan membuka lapangan kerja seperti tujuan UU Cipta Kerja atau Perpu No. 2 tahun 2022 kalau yang sudah punya HGU juga diklaim kawasan hutan,” pungkasnya. (YR)