Padang, mediaperkebunan.id – Kelapa sawit memiliki peran yang signifikan, selain sebagai komoditas ekspor utama Indonesia dan menjadi sumber devisa negara, sekaligus juga tumpuan sumber mata pencaharian pekebun.
Fakta empiris menunjukkan fluktuasi harga CPO di tingkat global secara langsung berimbas pada harga tandan buah segar (TBS). Fenomena yang berkembang bahwa terjadi perbedaan harga TBS, pekebun yang tergabung dalam kelembagaan atau bermitra dengan perusahaan pengolah kelapa sawit (PKS) harga TBS nya lebih tinggi dibandingkan dengan pekebun yang tidak melakukan kemitraan.
Selain itu tantangan lainnya, kebijakan “bebas deforestasi” yang sudah mulai diimplementasikan di Uni Eropa berpotensi memperlebar selisih harga TBS. TBS pekebun yang tergabung dalam kemitraan diyakini akan lebih mudah memenuhi persyaratan ketertelusuran (traceability) dibanding TBS pekebun yang tidak tergabung dalam kelembagaan atau kemitraan.
“Kementerian Pertanian melalui Direktorat Jenderal Perkebunan terus berupaya mencari solusi untuk membantu petani menghadapi berbagai tantangan dilapangan, menjaga komitmen dan mengatur strategi tepat guna demi perolehan harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit yang layak bagi pekebun,” ujar Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan di Padang, Sumatera Barat.
Prayudi menjelaskan, “tidak dapat dipungkiri kehadiran pemerintah dalam Penetapan Harga TBS produksi pekebun yang bermitra berdampak nyata kepada harga TBS pekebun non mitra sehingga penetapan harga TBS ini harus ditingkatkan pengawasan dan pemberian sanksi dalam implementasi dilapangan sehingga menguntungkan pekebun dan juga perusahaan.”
Prayudi pun menekankan, penetapan harga harus berpedoman terhadap Permentan NOMOR 01/PERMENTAN/KB.120/1/2018 tentang Pedoman Penetapan Harga Pembelian Tandan Buah Segar Kelapa Sawit Produksi Pekebun, sehingga pelaku usaha perkebunan tidak ada yang dirugikan, baik itu pekebun maupun perusahaan.
Dalam Pasal 4 Peraturan Menteri tentang Penetapan Harga Pembelian TBS disebutkan bahwa Perusahaan Perkebunan membeli TBS produksi Pekebun mitra melalui Kelembagaan Pekebun untuk diolah dan dipasarkan sesuai dengan perjanjian kerja sama secara tertulis yang diketahui oleh bupati/wali kota atau gubernur sesuai dengan kewenangan.
“Strategi dan upaya perolehan harga TBS pekebun yang wajar, dapat dilakukan melalui penguatan kelembagaan sehingga pekebun naik kelas menjadi hal penting dalam kemitraan berkelanjutan. Point penting yang menjadi catatan adanya kewajiban perusahaan untuk menerima kemitraan dengan pekebun bila persyaratan telah dipenuhi, kewajiban ini berlaku untuk PKS yang terintegrasi kebun maupun tanpa kebun wajib membangun kemitraan berkelanjutan untuk itu perlu diperkuat dalam regulasi dan pengawasan dari pemerintah,” jelas Prayudi.
Prayudi menerangkan, transparansi menjadi salah satu hal penting baik bagi perusahaan maupun pekebun, pihak-pihak bermitra harus transparan, sehingga perolehan harga TBS yang wajar dapat dirasakan oleh pekebun. Prinsip transparansi menjadi salah satu prinsip dalam ISPO kita, dalam transparansi penyampaian usulan dan data dukung indeks K serta penerapan penetapan harga TBS dilapangan yang selama ini menjadi permasalahan. Dengan hadirnya ISPO saat ini, prinsip transparansi dalam penyelenggaraan kemitraan dapat berjalan dengan baik sehingga harga yang wajar di tingkat pekebun dapat diwujudkan.
Lebih lanjut seperti diketahui, Harga referensi produk minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) untuk penetapan bea keluar (BK) dan tarif Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (tarif BLU BPDP-KS) atau biasa dikenal sebagai pungutan ekspor (PE) periode 1–15 Juni 2023 adalah USD 811,68/MT (Metrik Ton). Nilai ini menurun sebesar USD 81,55 atau 9,13% dari harga referensi CPO periode 16–31 Mei 2023.