Jakarta, mediaperkebunan.id – Sejak akhir abad ke-16, Indonesia telah menjadi pemasok penting bagi perdagangan lada dunia. Hingga saat ini, lada masih menjadi salah satu penyumbang devisa negara terbesar.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, nilai ekspor lada periode2018–2022 menembus USD 775 juta. Volume perdagangan rata-rata mencapai 45 ribu tonpada periode tersebut.
Direktur Jenderal Perdagangan Internasional, Kementerian Perdagangan, Djatmiko Bris Witjaksono mengutarakan, sebagai negara dengan perkebunan lada terbesar ketiga di dunia, Indonesia perlu menggenjot pengembangan lada untuk kembali menjadi pemain utama di kancah internasional. Ia pun menyoroti salah satu tantangan saat ini adalah rendahnya harga ladadi tingkat petani.
Di sisi lain, Djatmiko menyatakan bahwa lada Indonesia dengan mutunya yang tinggi dikenal sebagai produk kelas atas dibandingkan produk negara produsen lainnya.
Manfaat ini harus dipromosikan dan dipertahankan secara nasional dan internasional melalui budidaya lada dan teknik pengolahan lada yang sesuai dengan praktik pertanian yang baik. Langkah strategis ini pun harus didukung dengan inovasi dan pemasaran baik di hulu dan maupun hilir.
“Lada Indonesia memiliki kandungan piperin yang tinggi hingga sepuluh persendan rasa yang tajam. Beberapa lada Indonesia juga telah mempunyaisertifikat Indikasi Geografis seperti lada putih Muntok; lada hitam Lampung; lada Luwu Timur; dan lada malonan Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Indonesia juga memiliki beragam varietas tanaman lada unggulan hingga sepuluhjenis,” ujar Djatmiko.
Djatmiko menambahkan, untuk mendukung pengembangan industri lada Indonesia, salah satu program utama pemerintah adalah meningkatkanproduksi lada bernilai tambah tinggi.“Inovasi adalah kunci terpenting untuk menciptakan produk lada yang bernilai tambah. Kami berharap dapat mencapai target harga lada yang remuneratif melalui produk lada yang bernilai tambah,” kata Djatmiko.