Sebanyak 11 pabrik gula (PG) di Jawa akan ditutup. Hal ini seiring dengan upaya efisiensi di tubuh perusahaan perkebunan miliki negara khususnya yang menangani tebu. Hanya saja hal tersebut menunjukkan Kementerian BUMN tidak memahami esensi pengembangan perkebunan. Hal tersebut diungkapkan oleh pengamat perkebunan, Gamal Nasir.
Tidak hanya itu, Gamal menjelaskan bahwa pengembangan perkebunan tidak semata-mata bertumpu pada orientasi profit dalam jangka pendek. Tapi juga menjadi bagian dalam pengembangan ekonomi masyarakat. Hal ini karena sebagian besar pengelolaan on farm di sub sektor perkebunan dilakukan oleh masyarakat.
“Itulah spirit (semangat) yang selalu dilekat sejak masa perkebunan besar milik negara yang saat ini masih menjadi binaan Kementerian Pertanian,” jelas Gamal.
Artinya, menurut Gamal bahwa penutupan PG tanpa mempertimbangkan sisi petani menunjukkan bagaimana para pemangku kepentingan gagal pahamnya tentang esensi pengembangan perkebunan.
Sebab dengan menutup PG sama saja tidak lagi mempertimbangkan aspek sosial dan murni pada pertimbangan ekonomi semata didasarkan perhitungan di atas kertas. Padahal petani dan pabrik adalah komponen yang tidak bias terpisahkan, dan menangani petani tidak bisa dilakukan dengan pendekatan layaknya mengelola perusahaan minyak.
“Pasalnya petani sangat mudah berpindah komoditas ketika merasa dirugikan, atau untuk tanah di Jawa sangat mungkin terjadi alih fungsi lahan,” terang Gamal.
Melihat hal ini, gamal menyarankan, seharusnya kesebelas PG ini ditutup setelah terbangunnya PG baru yang lebih efisien. Sehingga petani masih dapat menjual hasil kebunnya.
Jangan sampai petani mengalami kerugian karena kesulitan menjual tebunya yang akhirnya bisa mengalami trauma menanam tebu di kemudian hari. Sehingga jangan sampai sampai PG baru terbangun tapi petani telah beralih kepada komoditas lain.
“Jangan ada kesan karena petani tebu bukan menjadi domain binaan Menteri BUMN sehingga kebijakan di holding PTPN menjadi kurang peka akan kehadiran mereka,” pungkas Gamal. YIN