Jakarta, Mediaperkebunan.id-Pendekatan yurisdiksi adalah salah satu cara untuk mencapai sustainability kelapa sawit. Pendekatan ini sejalan dengan agenda keberlanjutan yaitu mampu menjawab tantangan ketelusuran. Dida Gardera, Deputi Agribisnis dan Pangan, Kementerian Koordinator Perekonomian menyatakan hal ini pada workshop Dana Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Keberhasilan pendekatan yurisdiksi menjadi pintu masuk tranformasi secara terintegrasi. Semua berperan dan saling bekerjasama yaitu pemerintah, swasta, petani dan masyarakat. Semakin tinggi keberhasilan sawit tantangan yang dihadapi juga semakin besar. Contohnya adalah beredarnya produk free palm oil di Eropa.
Hal ini terjadi mungkin dulu proses pembagunan kebun kelapa sawit tidak terlalu memperhatikan keberlanjutan dan terjadi pembukaan hutan. Setelah kebakaran lahan dan hutan tahun 2015 yang sangat hebat, pemerintah langsung berbenah.
Terjadi penurunan hot spot dan deforestasi yang sangat signifikan. Padahal saat ini beberapa negara maju belum mampu mengatasi kebakaran hutan. Dengan melihat kemajuan yang ditempuh Indonesia tidak selayaknya label hitam terus diberikan pada sawit karena sudah banyak perbaikan yang dilakukan.
EUDR dan sebelumnya sengketa RED 2 mendorong perbaikan lewat pendekatan yurisdiksi, tetapi tetap yang utama Indonesia memang sejak awal ingin memperbaiki tata kelola sawit. Saat ini sedang dipersiapkan dasbor nasional sebagai sarana ketelusuran. ISPO yang semua di hulu juga ada ISPO hilir.
Indonesia sudah punya peta jalan kelapa sawit yang harus didukung semua pihak. Rencana Aksi Nasional Kelapa Sawit Berkelanjutan yang semua berbentuk Inpres akan keluar yang baru berbentuk Peraturan Presiden dan akan menjadi acuan bersama dalam konsep perbaikan kedepan.
Regulasi PSR akan lebih disederhanakan lagi sehingga diharapkan target 180.000 ha/tahun bisa dicapai. Pekebun juga didorong menggunakan KUR untuk membiayai usaha taninya.