Terus mengalirnya dana bantuan atau hibah yang diberikan oleh asing untuk restorasi gambut di Indonesia wajib dicurigai.
Pengamat Lingkungan dan kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB), Ricky Avenzora, menegaskan sebaiknya pemerintah mencurigai dana asing yang mengalir ke Indonesia baik berupa hibah ataupun bantuan pinjaman untuk restorasi gambut. Indonesia jangan sampai hanya karena menerima dana tersebut tapi tujuannya ingin mengatur keberadaan gambut di Indonesia, serta kemudian dijerat utang.
“Kita harus belajar dari pengalaman REDD (Reducing Emission from Deforeststasion and Forest Degradation). Saya yakin Presiden Jokowi sangat paham duduk perkara kegagalan REDD. Namun, sayangnya presiden sepertinya belum merdeka dari jajahan para mafia donor lingkungan yang berkeliaran di sekitar beliau,” himbau Ricky.
Lebih lanjut, menurut Ricky, bukti keberhasilan dalam proses rehabilitasi hutan justru ditunjukkan perusahaan sawit dan hutan tanaman industri (HTI). Berbagai areal terbengkalai berupa padang alang-alang, semak belukar, ataupun hutan sekunder muda berhasil dihijaukan kembali oleh perusahaan sawit dan HTI. Keanekaragaman hayati juga terus ditingkatkan melalui skema kewajiban High Conservation Value (HCV) dan berbagai sertifkasi lingkungan terkait.
“Untuk mewujudkan hal tersebut, sebaiknya pemerintah merangkul perusahaan-perusahaan terkait. Potensi finansial berbagai perusahaan sawit dan HTI di Indonesia jauh lebih dari cukup untuk menghijaukan semua kawasan hutan yang terbengkalai selama ini. Perlu kita ingat bahwa beban negara bukan hanya mencakup 2 juta hektar yang menjadi tanggung jawab Badan Rstorasi Gambut (BRG), melainkan mencapai 37 juta hektar yang rusak karena kekeliruan politik lingkungan pada masa lalu,” jelas Ricky.
Hal senada dikatakan Direktur Eksekutif, Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI) Tungkot Sipayung, bahwa berbagai cara dilakukan oleh asing untuk mengatur gambut di Indonesia. Maka dalam hal ini jangan sampai Indonesia terbawa oleh aturan asing yang menyebabkan kerugian terhadap Indonesia.
“Jadi lebih baik menarilah dengan gendang sendiri, daripada menari dengan gendang asing,” terang Tungkot yang juga pengamat pertanian dari IPB.
Artinya, menurut Tungkot, alangkah lebih bermanfaat jika lahan gambut digunakan sebaik mungkin daripada dibiarkan terbengkalai begitu saja. Bahkan jika dibiarkan begitu saja tanpa ada perawatan justru bisa menyebabkan terjadinya kebakaran.
Terbukti, dalam penemuan kasus kebakaran lahan di tahun 2015 kemarin, rata-rata lahan yang terbakar adalah yang yang tidak berpenghuni atau bertuan. Bukan lahan perkebunan di lahan gambut.
Selain itu, berdasarkan data FAO (2013), bahwa emisi pertanian terbesar di Indoensia justru berasal dari peternakan sebesar 13%, lalu padang pengembalaan sebesar 7%, penggunaan pupuk pabrik sebesar 12%, budidaya padi sebesar 39%, pengelolaan limbah ternak sebesar 5%, limbah tanaman sebesar 3%, pemanfaatan pupuk kandang sebesar 2%, terakhir pemanfaatan gambut sebesar 19%.
“Melihat data tersebut, maka sumber emisi GHG pertanian Indonesia terbesar adalah dari pertanian padi,” terang Tungkot.
Selain itu, Tungkot memaparkan, ada empat sumber minyak nabati yang saat ini diproduksi masal, yakni minyak sawit, kedelai, rapeseed, dan bunga matahari. Angka konsumsi minyak nabati pada 2014 mencapai 145,3 juta ton.
Dari empat sumber minyak nabati itu, minyak sawit meningkat dari 1965 dimulai 16% menjadi 42% pada 2014, sedangkan minyak kedelai dari 65% pada 1965 turun menjadi 32% pada 2014, selanjutnya minyak lainnya seperti rapeseed konsumsinya sebanyak 16% dan minyak bunga matahari sebanyak 10%. persen.
“Artinya tidaklah heran jika asing ingin membatasi perkembangan sawit termasuk menanam di lahan gambut karena pasar sawit masih menjanjikan di dunia,” pungkas Tungkot. YIN