2017, 17 Mei
Share berita:

Harus diakui bahwa komoditas perkebunan telah membuktikan sebagai penghasil devisa terbesar bahkan melebihi devisa yang dihasilkan oleh sektor minyak dan gas (migas), tapi sangat disayangkan perhatian pemerintah terhadap perkebunan masih rendah.

Hal tersebut diungkapkan oleh ketua Komisi Pangan dan Pertanian, Dewan Riset Nasional, Haryono dalam Diskusi Kelapa Sawit dengan tema ”Inovasi dan Teknologi Terkini Dalam Upaya Meningkatkan Produktivitas Kelapa Sawit Secara Berkelanjutan,” di Jakarta, Rabu (17/6).

“Jadi dengan menghasilkan devisa tertinggi maka sudah seharusnya riset di perkebunan mendapat perhatian yang lebih tinggi. Selain itu harus diakui bahwa komoditas perkebunan adalah komoditas startegis yang permintannya terus meningkat, untuk itu harus didukung dengan riset yang juga kuat dengan begitu maka komoditas perkebunan bisa berjalan dengan lebih optimal lagi,” kata Haryono.

Terbukti, menurut Haryono, dengan lemahnya riset maka berdampak kepada rendahnya produktivitas perkebunan rakyat, salahsatunya pada perkebunan kelapa sawit. Melihat hal ini, maka sebaiknya program Perkebunan Inti Rakyat (PIR) sebaiknya dijalankan lagi. Tujuannya agar pemerintah ikut andil dalam membina perkebunan rakyat, dengan begitu maka pemerintah ikut andil dalam peningkatan produktivitas.

Tapi juga, peningkatan produktivitas juga menjadi tanggung jawab perusahaan swasta. Sebab 20 persen dari total hak guna usaha (HGU) adalah milik petani. seperti diketahui bahwa sekitar 40 persn dari total luas perkebunan kelapa sawit yang saat ini mencapai sekitar 11 juta hektar adalah milik petani.

“Memang swasta dengan rakyat. Sehingga dalam hal ini PIR harus diteruskan dan swasta juga harus bertanggung jawab. Sehingga dalam hal ini pemerintah juga bertanggung jawab memfasilitasi. Swasta diperlukan karena sebagian kebun rakyat bagian plasma perusahaan,” papar Haryono.

Baca Juga:  Kementerian BUMN Pacu Digitalisasi PTPN

Sehingga dalam hal ini, Haryono mengakui memang sudah seharusnnya pemerintah memberikan porsi yang besar untuk riset perkebunan. Sebab harus dikaui bahwa selama ini riset di perkebunan dirasa masih kurang. Padahal untuk membangun perkebunan yang kuat harus didukung oleh riset yang kuat baik di hulu ataupun dihilir.

“Maka dalam hal ini untuk membangun perkebunan harus berbasis riset jadi untuk membangun perkebunan yang kuat dan bagus maka harus didukung riset dan inovasi yang kuat. Jadi jika tidak didukung riset maka kedepan perkebunan akan hancur,” pungkas Haryono. YIN