Jakarta, Mediaperkebunan.id
Fokus pemerintah dalam pembangunan perkebunan kelapa sawit saat ini adalah meningkatkan kapasitas pekebun, terutama pekebun swadaya. “Meskipun dalam UU perkebunan sekarang tidak dibedakan lagi antara pekebun swadaya dan eks plasma. Tetapi fakta di lapangan memang pekebun swadaya yang perlu perhatian khusus,” kata Dedi Junaedi, Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan/Sekretariat Rencana Aksi Nasional Kelapa Sawit Berkelanjutan.
Pembangunan kelapa sawit sesuai dengan sifat komoditasnya harus terintegrasi antara pabrik pengolahan primer dengan kebun, karena TBS yang dipanen harus segera diolah. Pabrik pengolahan untuk memenuhi kapasitasnya perlu kebun yang cukup luas sampai ribuan hektar. Dalam UU Cipta Kerja dan turunannya Peraturan Pemerintah, ditetapkan luas kebun minimal 6.000 ha dan kalau kurang dari itu harus melakukan kemitraan.
Dari total luas kebun kelapa sawit Indonesia 16,38 juta ha sekitar 6,1 juta ha merupakan milik petani, dan yang paling besar adalah petani swadaya. Pemerintah harus hadir membantu petani.
Kehadiran pemerintah saat ini dalam bentuk PSR (Peremajaan Sawit Rakyat) yang menyasar tidak saja kebun sawit yang sudah tua tetapi kebun muda yang menggunakan benih ilegitim sehingga produktivitasnya rendah. Pendanaanya berasal dari BPDPKS .
Selain peremajaan, kehadiran pemerintah yang lain dengan menggunakan dana BPDPKS adalah bantuan sarana dan prasarana, penerimaan beasiswa anak pekebun dan pelatihan petani, juga verifikasi ISPO.
Penguatan kapasitas dan kapabilitas pekebun sangat penting dan menjadi fokus pemerintah. Dalam pelaksaanaanya pemerintah menggandeng semua pihak termasuk organisasi masyarakat sipil untuk penguatan kelembagaan petani. “Saya berterima kasih karena sudah banyak CSO yang berkiprah di lapangan membantu petani. Kerjasama ini harus diperluas dan ditingkatkan lagi. Pemerintah sangat terbantu oleh CSO,” katanya.
Pemerintah juga mendorong supaya petani bisa memiliki PKS sendiri. Tentu ada syarat dan kondisi tertentu supaya kelembagaan petani bisa memiliki PKS.
Kelapa sawit sampai sekarang dikembangan baik oleh petani maupun perusahaan perkebunan , secara monokultur. Ini menjadi salah satu sorotan juga terkait dengan keanekaragaman hayati. Dari diskusi dengan berbagai pihak saat ini terbuka peluang untuk melakukan tumpang sari dalam intensifikasi sawit.
Saat ini yang terus didorong adalah meningkatkan nilai ekonomi limbah. Semua bagian sawit baik di kebun maupun yang keluar dari PKS punya nilai komersial. Ini yang harus terus dikembangkan.
Perkebunan kelapa sawit perlu lahan yang luas dan hal ini sering memicu konflik. “Ditjenbun sampai sekarang masih banyak menerima surat terkait konflik dan kewajiban membangun kebun masyarakat bagi perusahaan. Karena itu perbaikan tata kelola dan penanganan sengketa harus terus ditingkatkan,” katanya.
ISPO baru yang ditetapkan oleh PerPres menuntut transparansi dan hal ini ditunjukkan dengan adanya pemantau independen. ISPO wajib bagi semua pelaku usaha dan khusus bagi pekebun berlaku mulai tahun 2025.
Percepatan sertifikasi ISPO tidak mungkin dilakukan kalau berbagai kendalanya tidak dihilangkan. Karena itu pemerintah fokus mengatasi kendala seperti kebun di kawasan hutan dan konflik lahan. Sedang ISPO petani perlu upaya yang luar biasa besar dan keterlibatan CSO sangat diharapkan.