JAKARTA, Mediaperkebunan.id – Meski permintaan komoditas vanili kini terkoreksi akibat pandemi Covid 19. Namun sebenarnya permintaan salah satu komditas rempah ini terus melonjak, terutama sejak 2012. Sayangnya pemerintah masih belum maksimal memperhatikan komoditas ekspor ini.
Demikian dikatakan Ketua Umum Dewan Vanili Indonesia John Tumiwa. Menurutnya, Indonesia berpotensi menjadi produsen vanili utama dunia. “Tapi posisi Indonesia sekarang ini turun ke posisi nomor tiga sebagai produsen vanili dunia,” ujarnya kepada Media Perkebunan.
Padahal, lanjut Tumiwa, Indonesia sebelumnya berada di posisi ke-2. Karena perhatian pemerintah terhadap komoditi vanili tidak maksimal, akhirnya produksinya pun turun. Sehingga posisinya digeser dari negara lain.
Tumiwa mengatakan, harga vanili saat ini berkisar USD 150 – 200 per kilogram. Hal ini karena harga vanili terus berfluktuasi yang ditentukan permintaan dan ketersediaan stok. Terlebih lagi poduksi vanili ditentukan petani yang menanamnya. “Kalau harga lagi bagus, petani mau menanamnya,” tukasnya.
Menurut Tumiwa, harga vanili sendiri mulai merangkak naik sejak 2012 hingga 2019. Namun pada 2020 harganya mulai terkoreksi. Hal ini terjadi akibat dampak pandemi Covid 19 yang berpengaruh pada pasokan.
Dari sisi produksi, lanjut Tumiwa, panen vanili akan memasuki panen raya pada 2023. Hal ini karena adanya penanaman baru yang dimulai pada 2019. Sehingga baru bisa dipanen tiga tahun lagi.
Tumiwa mengatakan, pasar vanili saat ini lebih besar pada ekspor, terutama Amerika Serikat, Jerman, Perancis, Belanda, dan Spanyol. Sedangkan pasar dalam negeri lebih banyak memanfaatkan vanili sintetis.
Tumiwa menilai, pemerintah belum memperhatikan pengembangan vanili secara maksimal baik dari sisi budidaya maupun pasar. Padahal vanili bisa menjadi komoditas yang diunggulkan. Produksi vanili tahun 2019 sebanyak 250 ton kering. Namun jumlah produksi itu tidak semuanya berasal dari Indonesia. Ada juga yang berasal dari Papua Nugini. Hal ini terjadi karena perdagangan lintas batas negara. (YR)