Jakarta, Media Perkebunan.id
Sampai Desember 2019 sudah 5 sertifikat ISPO yang dikeluarkan untuk perusahaan perkebunan kelapa sawit di Papua, yaitu 2 di Papua dan 3 di Papua Barat. ISPO yang berdasarkan Permentan nomor 11 tahun 2015 sudah sangat ketat mengatur sustainability kelapa sawit. Azis Hidayat, Sekretariat Komisi ISPO menyatakan hal ini pada webinar dan live streaming “Melirik Perkebunan Sawit di Tanah Papua” yang diselenggarakan oleh Media Perkebunan.
Dengan memperoleh sertifikat ISPO maka perusahaan sudah mentaati 16 Undang-Undang, 14 Peraturan Pemerintah, Inpres, Perpes dan puluhan peraturan menteri. Artinya perusahaan perkebunan juga mampu menerapkan praktek sustainability di Papua dan Papua Barat.
Salah satu praktek yang dilarang dalam perkebunan kelapa sawit sesuai ISPO adalah melarang pembukaan lahan dengan cara dibakar. “Sekarang ada temuan LSM bahwa sebuah perusahaan melakukan pembakaran untuk membuka lahan. Saya yakin perusahaan tahu persis bahwa membakar lahan di larang dan mereka tidak akan berani melakukannya karena izinnya pasti akan dicabut. Perusahaan tidak akan berani melakukan pembakaran lahan dengan sengaja,” katanya.
Saat ini sudah masuk ISPO baru dengan Perpres nomor 44 tahun 2020. Peraturan Menteri Pertanian sebagai turunan dari Perpres sudah ada di meja Menteri Pertanian, tinggal ditanda tangani. Juga sesuai dengan UU nomor 11 tentang Cipta Kerja maka praktek sustainability akan diterapkan lebih ketat lagi. Pembangunan perkebunan kelapa sawit di Papua dan Papua Barat diharapkan akan lebih sustainable.
Hengky dari LSM Papua Bangkit menyatakan luas kebun sawit di Papua dan Papua Barat ini sangat kecil sekali, dari izin 2,5 juta ha yang sudah dibangun baru 1% saja. Pemda dengan UU Otonomi Khusus seharusnya lebih mendorong pembangun kebun kelapa sawit di Papua. Perkebunan cocok dikembangkan di Papua karena menyerap tenaga kerja banyak, tidak menggunakan teknologi tinggi sehingga masyarakat adat bisa terlibat.
Luas 4 kabupaten di Papua sama dengan luas Pulau Jawa tetapi jumlah penduduknya sama dengan Kabupaten Bogor. Artinya ada banyak sekali lahan luas yang bisa dimanfaatkan untuk perkebunan. Mengenai banyaknya LSM dan masyarakat adat yang protes, masalahnya karena daerah ini sebagian besar berjalan auto pilot. Pemda, masyarakat dan pengusaha berjalan sendiri-sendiri, sulit untuk terintegrasi.
Konsep-konsep pembangunan perkebunan yang bagus di pusat tidak sampai ke masyarakat di daerah. Saat ini yang lumayan bagus adalah Kabupaten Keerom dimana dinas perkebunannya sangat aktif dan masyarakat banyak terlibat dalam perkebunan kelapa sawit sebagai plasma. Di beberapa kabupaten lain dinas perkebunan relatif tidak bergerak.
Persoalannya sekarang adalah bagaimana izin yang 2,5 juta ha ini bisa segera direalisasikan pembangunannya. Realisasi peremajaan juga kecil karena tidak ada sinergi perusahaan dengan masyarakat. UU Otsus dan Cipta Kerja sudah memberikan ruang yang lebih besar bagi masyarakat untuk bermitra tetapi pemerintah daerah belum bergerak untuk merealisasikanya. Padahal sesuai dengan potensinya maka ekonomi pertanian/perkebunan sangat cocok untuk mengembangkan Papua dan Papua Barat.
Harus ada sinergi antara masyarakat adat, pemda, pengusaha dan LSM untuk mendorong pembangunan perkebunan kelapa sawit. Beri tempat pada LSM yang berniat mengembangkan kesejahteraan masyarakat jangan pada LSM yang menjual isu dan menghambat pembangunan.
Lenis Kogoya, Staf Khusus Presiden Bidang Papua dan Ketua Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Papua menyatakan menyatakan ada 6 wilayah adat di Papua dan Papua Barat yang punya banyak lahan tidur. Masyarakat ingin memanfaatkan lahan itu untuk perkebunan, termasuk kelapa sawit.
“Sekarang banyak jalan dibangun di Papua. Misalnya jalan Jayapura ke Wamena, Jayapura ke Sarmi mereka minta supaya disepanjang jalan itu dibangun perkebunan. Masyarakat setempat dijadikan transmigrasi lokal mengelola perkebunan itu,” katanya.
Lenis minta dibentuk Pokja yang beranggotakan Kemeterian Desa, PDT dan Transmigrasi , Kementerian Pertanian, Kementerian LHK, Kementeriam ATR/BPN, PemProv dan PemKab, LMA dan tokoh agama untuk membangun ini. “Kalau masyarakat punya aktivitas ekonomi perkebunan saya yakin masalah keamanan di Papua akan hilang,” katanya.
Lenis menyatakan selama ini dirinya banyak menyelesaikan masalah antara masyarakat adat dengan perusahaan perkebunan kelapa sawit. Masyarakat adat jadi terlibat dalam pengelolaan perkebunan. Di Keroom misalnya masyarakat adat menjadi petani plasma dengan luas 4 ha dan menjadi anggota koperasi, sekarang sudah menikmati hasilnya.