2020, 14 September
Share berita:

Jakarta, Media Perkebunan.id

Permintaan kakao dunia menurut ICCO (International Cocoa Organization) meningkat 2-4% setiap tahun, atau 80.000-160.000 ton/tahun. Negara-negara Eropa rata-rata konsumsinya perkapitanya sudah tinggi antara 6,21 kg di Estonia sampai 11,56 kg di Jerman. Sedang negara Asia dengan penduduk terbesar masih rendah yaitu Indonesia 0,25 kg, China 0,04 kg dan India 0,03 kg (ICCO tahun 2010).

Menurut Eko Heri Purwanto dari Balai Penelitian Tanaman Industri dan Penyegar, Puslitbun, Balitbang Kementan, peluang pasar terbuka adalah di Indonesia, China dan India. Kalau perkapita naik 1 kg saja maka akan ada tambahan permintaan 2,5 juta ton/tahun.

Data tahun 2014 menunjukkan konsumsi perkapita kakao Indonesia 430 gr/tahun. Masalahnya produksi biji kakao Indonesia semakin berkurang, menurut data Dewan Kakao Indonesia tahun 2007 520.000 ton sedang tahun 2019 217.000 ton. Sejak tahun 2014 Indonesia adalah net importir biji kakao, yaitu 109.409 ton tahun 2014 dan 234.894 ton tahun 2019. Ekspor grinding kakao sendiri semakin meningkat, tahun 2014 270.345 ton dan tahun 2018 352.921 ton.

Nilai tambah terbesar industri kakao adalah pada industri hilir. Petani yang semula memproduksi biji asalan kemudian menjadi biji fermentasi maka nilai tambahnya naik 10-15%. Grinder yang mengolah biji kakao menjadi cocoa butter dan cocoa powder nilai tambahnya naik 15-30%. Sedang industri hilir cokelat yang mengolah cocoa powder dan cocoa butter menjadi cokelat siap konsumsi nilai tambahnya naik 500-1000%.

Dari sebatang cokelat dengan berat 100 gr dan harga €0,79 maka yang dinikmati petani adalah 6%, pedagang perantara 7%, retailer 17% dan perusahaan kakao dan cokelat 70%.

Bisnis kakao di Indonesia sudah berevolusi dari era perkebunan tahun 1980-1995 dengan perusahaan PT Hasfarm, PTPN, PT Bajabang dan lain-lain; tahun 1995-2000 merupakan era pedagang dan eksportir dengan perusahaan Olam, Cargill, Armanjaro, Comextra dan lain-lain; tahun 2010 sampai sekarang era grinding dengan perusahaan Barry Callebout, BT Cocoa, Cargill, Guan Chong dan lain-lain; tahun 2015 sampai sekarang juga era pabrik makanan cokelat dengan perusahaan Ceres, Monggo, Chocodot, Nestle, Mondelez, Arnot, Cocoa Pod dan banyaknya UMKM produsen coklat.

Baca Juga:  PTPN Holding Usung Brand Baru “Walini”

Secara terpisah, Dwi Atmoko Setiono, Ketua Dewan Kakao Indonesia menyatakan permasalahan hulu kakao adalah produktivitas masih rendah hanya 500-700 kg/tahun masih jauh dibawah potensinya 2.000 kg/tahun. Produksi cenderung menurun karena tanaman tua/tidak produktif, serangan hama penyakit, kurang pemeliharaan oleh petani, perubahan iklim serta degradasi kesuburan tanah.

Saat ini kakao rakyat sebagian besar diusahakan oleh petani dengan usia diatas 40 tahun, sedang generasi muda cenderung tidak berminat mengusahakan kebun. Dikuatirkan lahan kakao akan semakin berkurang bahkan bisa punah.

Upaya penyelematan ditingkat hulu adalah dengan mempercepat peningkatan produktivitas dan produksi kakao melalui intensifikasi, rehabilitasi, peremajaan, diversifikasi dan perluasan. Kelembagaan petani diperkuat lewat penyuluhan dan pendampingan lapangan serta kemitraan dengan industri kakao.

Koperasi petani kakao ditumbuhkan dan dikuatkan, perlu dukungan pemerintah (Kemenkop/UKM dan pemda). Biji kakao ditingkatkan kualitasnya lewat fermentasi secara bertahap. Industri dan petani bermitra bukan hanya diaspek pemasaran saja tetapi pembinaan teknis dan manajemen kepada petani. Perlu ada faslitas kredit untuk kebun petani tanpa perlu avalis.

Untuk keberlanjutan maka perlu menumbuhkan dan meningkatkan generasi muda untuk mengusahakan kebun kakao maka perlu dibentuk SMK jurusan kakao di sentra-sentra produksi kakao.

Industri diminta mau membina kelompok tani, menyediakan petugas pendamping di lapangan dalam skala yang lebih luas, meningkatkan penyuluhan kepada petani dengan membangun kebun percontohan dalam skala luas. Memberikan selisih harga yang baik pada petani dalam pembelian biji kakao fermentasi.

Harus fokus pada petani. Indonesia masih punya lahan 1,6 juta ha yang bisa ditanami kakao. Penyuluhan harus diintensifkan. Dengan teknologi penyuluhan bisa dilakukan secara virtual.