Jakarta, mediaperkebunan.id – Industri nata de coco didominasi oleh pelaku usaha UMKM dengan produksi mencapai 2.100 ton/bulan. Ada tiga perusahaan besar produsen nata de coco di Indonesia dengan produksi 1.800 ton/bulan. Derri Kusuma, Ketua Gabungan Pengusaha Nata De Coco Indonesia menyatakan hal ini.
Peluang bisnis nata de coco masih besar sebab sebanyak 3,68 juta ton air kelapa masih terbuang. Potensi kehilangan USD5,25 miliar potensi devisa. Pasar non food masih belum tergarap, selama ini produknya hanya untuk food.
Tantangannya adalah sumber air kelapa banyak terdapat di daerah dan di kepulauan sehingga sulit mendapatkan tenaga kerja. Di Jawa tenaga kerja melimpah tetapi air kelapa sulit. Teknologi belum maksimal sebagain besar industri rumah tangga.
Menurut Leonardo Adypurnama alias Teguh Sambodo, Staf Ahli Menteri Perencanaan Pembangunan/Ka Bappenas Bidang Pembangunan Sektor Unggulan dan Infrastruktur, nata de coco pasarnya memiliki proyeksi mengalami pertumbuhan yang kuat karena kesesuaianya dengan tren kesehatan dan kebugaran, pengembangan produk inovatif dan permintaan konsumen yang meningkat untuk makanan alami dan bergizi. Nilai tambah 31,92 kali , pasar tahun 2032 USD1,5 miliar.
Tantangan industri nata de coco adalah kenaikan harga bahan bakar dan listrik, infratruktur distribusi belum memadai untuk menjaga kualitas produk selama pengiriman. UMKM belum memilii kelembagaan yang kuat dan produksi da sistem produksi yang efisien.
Program pendampingan dan penguatan kelembagaan masih rendah. Inisiatif petani untuk memberbaiki tata kelola perlu peningkatan.
Clean production masih menjadi salah satu tantangan untuk diterapkan dalam industri nata de coco. Tantangan inovasi dalam penggunaan bahan baku organik sebagai upaya menuju keberlanjutan dalam produksi. Industri nata de coco belum menjadi prioritas pemerintah sehingga masih tertinggal dari Filipina. Persaingan harga dengan produsen negara lain juga jadi tantangan.
Teknologi produksi pun masih perlu peningkatan. Banyak industri rumah tangga belum memenuhi standar GMP. Pengembangan keterampilan dan kapasitas SDM perlu peningkatan melalui program pelatihan dan pendampingan untuk meningkatkan kualitas produksi dan manajemen usaha.
Lapisan rompi anti peluru, bahan alami yang lebih ringan dan ramah lingkungan, terbuat dari serat nata de coco. Nilai tambah dari nata de coco ke lapisan rompi anti peluru 667 kali, pangsa pasar Indonesia USD25 miliar, dunia USD1,315 miliar, pangsa Indonesia terhadap dunia 1,9%.
Dari nata de coco menjadi lapisan rompi anti peluru hambatan kurangnya fasillitas pengujian dan sertifikasi untuk memastikan kualitas dan keamanan produk.
Tidak ada regulasi dan standar nasional yang jelas untuk produk berbasis kelapa dalam industri pertahanan. Birokrasi yang rumit dalam perizinan berusaha dan ekspor. Tantangan dalam memastikan sumber bahan baku yang berkelanjutan dan ramah lingkungan.
Tingginya biaya pengembangan dan pengujian produk baru yang sesuai dengan standar internasional. Kurangnya kemitraan strategis dengan investor asing yang berpengalaman. Ketidakpastian regulasi yang mempengaruhi investasi jangka panjang. Persaingan dengan produk yang lebih murah dan sudah teruji.
Keterbatasan dalam pengembangan teknologi komposit berbasis serat kelapa yang efektif untuk perlindungan balistik. Kesulitan dalam memastikan konsistensi kualitas produk komposit serat kelapa.