Survei singkat yang dilakukan SCOPI (Sustainable Coffee Platform of Indonesia) terhadap anggotanya, Master Trainers dan petani kopi yang didampingi di 15 provinsi pada umumnya mereka sudah paham Pandemi Covid-19.
“Bisa dikatakan 90% mereka tahu pandemi Covid 19 tetapi sebagian besar belum memperoleh informasi langkah antisipasi, dukungan dan bantuan pemerintah pusat dan daerah terhadap koperasi dan petani kopi,” kata Paramita Mentari Kesuma, Direktur Eksketutif SCOPI.
Jenis bantuan yang diharapkan petani, pelaku usaha UMKM, pelaku usaha rantai pasok dan eksportir adalah dukungan pemerintah berupa bantuan tunai langsung, biaya operasional, insentif pajak, membuka resi gudang yang bisa diakses petani, pelaku dalam rantai pasok dan pegawai UMKM.
Hendratmojo Bagus Hundoro, Kasubdit Tanaman Penyegar, Dirat Tanaman Tahunan dan Penyegar Ditjenbun menyatakan untuk mengatasi dampak pandemi Covid-19 dalam jangka pendek, pihaknya sudah merancang anggaran padat karya untuk petani kopi. Pemerintah akan memberi bantuan upah kerja berupa HOK dan saprodi di sentra-sentra kopi.
Upah kerja Rp4 juta/ha untuk kegitaan perluasan, peremajaan, land clearing, penanaman, pemangkasan dan pemupukan. Bantuan lain adalah sarana produksi berupa pupuk, pengendali hama penyakit senilai Rp4 juta/ha. Anggaran yang direncanakan Rp60 miliar untuk 7.700 ha.
Untuk pengolahan pemerintah akan membagikan alat pengolahan pasca panen sehingga petani bisa menghasilkan green bean 31 unit dan hilirasi berupa alat roasting dan pembubuk kopi 34 unit.
Sedang dalam jangka panjang mengeluarkan kebijakan seperti keringan kredit usaha dan menyiapkan pasar ekspor alternatif.Tahun ini KUR (Kredit Usaha Rakyat) untuk perkebunan Rp20,37 triliun dengan rincian hulu Rp19,76 triliun dan hilir Rp 600 miliar. Selain itu dikaji alternatif pasar yaitu Jerman, Perancis, Amerika Serikat, Argentina, Jepang, Korea Selatan dan Afrika Selatan.
Wildan Mustofa, pemilik CV Frinsa yang melakukan pendampingan petani kopi di Pangalengan, Kabupaten Bandung menyatakan waktu panen kopi di Indonesia untuk utara Katulistiwa yaitu Aceh dan Sumut bulan Oktober sampai April dengan produksi 20% dari total produksi nasional, panen bareng dengan Kolombia, Vietnam dan Amerika Selatan. Saat ini panen sudah 2/3. Sedang di selatan Katulistiwa panen Mei sampai September produksi 80% dari produksi nasional bareng dengan panen Brazil, Peru, Kenya.
Masalah utama kopi Indonesia adalah produktivitas rendah yaitu 518 kg/ha sedang Kolombia, Brasil dan Vietnam 2-2,5 ton/ha. Akibatnya harga kopi Indonesia paling mahal. Dalam kondisi seperti sekarang untuk blending kopi mahal tidak digunakan dulu.
Saat ini yang masih lumayan penjualannya kopi murah komersial grade yang masih dibeli untuk minum kopi di rumah. Sedang kopi specialty yang mahal paling menderita, penjualan Maret tinggal 60% sedang April sudah nol. Terjadi penumpukan kopi di roastery sehingga musim panen kedepan pembelian akan berkurang.
“Saat ini eksportir kopi baru menghadapi 2/3 panen di Aceh Sumut yang 20% produksi Indonesia sudah kesulitan cash flow. Apalagi nanti ketika yang 80% produksi panen. Pengusaha tetap akan membeli tetapi skalanya mengecil,” katanya.
Pengusaha kecil dan menengah telah melakukan adaptasi pada proses penjualan kopi seperti penjualan daring lewat market place, diskon dan layan antar. Meskipun demikian omset penjualan turun 90%.