Palembang, mediaperkebunan.id – Pasar karet di pasar global pada tahun 2025 diprediksi mengalami perubahan, terutama dari sisi negara-negara produsen. Lalu, prediksi perubahan itu dikhawatirkan justru membuat posisi Indonesia bakal terimbas sebagai produsen karet nomor dua dunia.
“Dalam beberapa tahun ke depan, Thailand mungkin masih menjadi produsen karet nomor satu dunia, dengan pertimbangan produktivitas yang tinggi dan lahannya yang cukup luas,” kata Suroso Rahutomo sebagai Kepala Pusat Penelitian (Puslit) Karet di Sembawa, Kabupaten Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel) Kepada Media Perkebunan secara tertulis, Minggu (22/12/2024).
Suroso Rahutomo melihat justru posisi Indonesia yang selama ini menempati peringkat kedua bisa saja tergeser oleh negara lain. Hal ini karena produksi Karet alam Indonesia terus mengalami penurunan akibat produktivitas yang rendah dan luasan lahan yang berkurang karena konversi. Di lain pihak, terlihat bahwa produksi di beberapa negara produsen lain cenderung meningkat, misalnya di Vietnam, Tiongkok, dan Pantai Gading.
Peningkatan produksi di negara-negara tersebut, ungkap Suroso Rahutomo, lebih berkaitan dengan peningkatan produktivitas, yang masih berpotensi melonjak jika terjadi ekspansi perkebunan karet, terutama di negara-negara Afrika. Apa yang diprediksi bakal dialami Indonesia, kata dia, tidak terlepas dari masih panjangnya rantai pasok pemasaran karet alam di Indonesia, khususnya untuk petani karet sebagai pemilik lebih dari 90 persen kebun karet nasional.
Peran middleman atau pedagang perantara, kata dia, termasuk dalam proses pemasaran bahan olahan karet rakyat (bokar) ke pabrik pengolah masih cukup dominan. “Memang di beberapa daerah sudah terbentuk UPPB atau Unit Produksi dan Pemasaran Bahan Olahan Karet Rakyat, namun masih banyak sentra produksi karet yang belum memiliki UPPB,” ungkap pria yang pernah aktif di Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) Medan ini.
Nah, Suroso Rahutomo menambahkan, panjangnya rantai pasok melemahkan posisi tawar petani sebagai tangan pertama di level hulu dalam pembentukan harga. Selain panjangnya rantai pasok, ia juga melihat permasalahan juga muncul di level intermediate atau pabrik pengolah crumb rubber. Dirinya melihat menurunnya produksi karet rakyat telah mengakibatkan kelangkaan bahan baku.
“Sehingga situasi ini membuat beberapa pabrik pengolah telah menutup usahanya yang dapat menjadi ancaman untuk penyerapan produksi karet rakyat,” kata dia.
Di samping itu, ia melihat problem lain juga masih muncul pada perkebunan karet, terutama terkait intensitas serangan penyakit gugur daun Pestalotiopsis yang menjadi masalah utama sejak 2018, namun ternyata jauh berkurang terutama di semester kedua 2024. “Meskipun demikian, kewaspadaan terhadap penyakit ini tetap diperlukan, mengingat bukan tidak mungkin terjadi outbreak penyakit ini di tahun 2025 atau tahun-tahun berikutnya,” saran Suroso.
Menurutnya, potensi bahaya utama adalah rendahnya harga karet alam di pasar global, walau di tahun 2024 ini harga karet alam di pasar global telah menembus level tertinggi selama 5 tahun terakhir.
“Namun masih terus mengalami fluktuasi dan belum stabil di level renumeratif untuk petani karet yaitu di atas USD 2.1 per kilogram (Kg).
Harga karet alam yang tidak remuneratif sementara biaya produksi terus meningkat,” kata dia.
“Dan situasi ini akan mengakibatkan petani tidak mampu untuk merawat kebun karetnya, meninggalkan penyadapan, atau bahkan melakukan konversi,” tambah Suroso Rahutomo.
Karena itulah, menurutnya, peran pemerintah sangat fundamental saat ini untuk menyelamatkan industri karet alam nasional.
Langkah-langkah strategis perlu difasilitasi pemerintah sehingga efektif membangkitkan kembali agribisnis karet alam di Indonesia. Pertama, bebernya, industri hilir berbasis karet perlu segera dibangun untuk mengurangi ketergantungan terhadap ekspor karet alam dalam bentuk SIR 20 yang saat ini mencapai lebih dari 80 persen. Selain produk untuk otomotif dan medis, menurutnya produk hilir yang potensial menyerap produksi karet alam dalam jumlah besar sehingga memiliki daya ungkit untuk meningkatkan konsumsi domestik adalah produk untuk infrastruktur, seperti bantalan peredam gempa, dock fender, bantalan rel kereta api, dan aspal karet.
“Kedua, pemerintah perlu memfasilitasi akses financial kepada petani Karet untuk pendanaan input produksi seperti pupuk, herbisida, Dan koagulan. Ketiga, koordinasi program peremajaan karet rakyat dengan penanaman klon unggulan serta penerapan mix farming,” tuturnya lebih lanjut.Saat ini, beber Suroso, proporsi kebun karet tua di perkebunan rakyat cukup besar yang memerlukan dukungan program yang solid untuk peremajaannya. Program peremajaan ini dapat dipadukan dengan penanaman tanaman pangan selama masa tanaman belum menghasilkan, sehingga petani karet masih memiliki peluang pendapatan selain menjadi alternatif untuk mendukung program ketahanan pangan nasional.
“Keempat, perlunya dukungan program pemerintah untuk mewujudkan perdagangan karbon di perkebunan karet. Total luasan kebun karet saat ini mencapai lebih dari 3 juta hektar (Ha) yang berpotensi menyerap lebih dari 100 juta ton CO2 eq per tahunnya,” ucap Suroso Rahutomo. Perdagangan karbon ini, kata dia, bisa menjadi alternatif tambahan pendapatan untuk petani karet sehingga tidak hanya tergantung pada kondisi harga karet alam di pasar global.
Kelima, perlunya sinkronisasi dari program-program pemerintah untuk mendukung industri karet alam yang tersebar di berbagai kementrian dan lembaga (K/L). “Negara produsen Karet seperti di Thailand dan Malaysia memiliki sebuah badan yang melakukan sinkronisasi program-program untuk mendukung keberlanjutan industri karet alam di negara masing-masing, yang mungkin bisa menjadi acuan untuk Indonesia dalam mengembalikan kejayaan karet alam nasional,” tegas Suroso Rahutomo.