Sangat disayangkan meskipun pasar ekspor pasing tinggi tapi justru yang menguasai pasar ekspor justru eksportir yang juga berasal dari luar. Sedangkan eksporti lokal terus tergerus oleh eksporti dari luar yang membuka pasar di Indoensia.
Terbukti, jika melihat catatan GAEKI Cabang Lampung, dahulu di awal tahun 2000, terdapat 65 perusahaan eksportir lokal di Lampung. Tapi saat ini, diperkirakan hanya tinggal 15 perusahaan eksportir lokal yang tersisa di Lampung. Dari jumlah itu, diperkirakan hanya ada 6 perusahaan yang skalanya besar dan masih aktif. Sisanya hilang karena masuknya eksportir asing yang membuka gudang sebesar-besarnya dan jumlahnya yang tidak sedikit.
“Padahal jumlah ekspor di Lampung dan sekitarnya seperti Sumatera Selatan dan Bengkulu terus tumbuh. Tahun 2014 sekitar 200.000 ton sedangkan tahun lalu mencapai 300ribu ton,” tutur Budi Setyawan, anggota Gabungan Eksportir Kopi Indonesia (Gaeki).
Berkurangnya jumlah eksportir lokal, Budi menjelaskan karena dukungan pendanaan untuk Penanaman Modal Asing (PMA) dengan suku bunga yang rendah dibandingkan dengan sumber dana lokal menjadi salah satu penyebab sulitnya eksportir lokal berkembang.
Alhasil, dengan modal yang jauh lebih besar dengan jumlah modal yang dimiliki oleh eksportir lokal maka PMA mampu melakukan hedging (lindung nilai) saat membeli kopi pada musim panen, namun menahan untuk menjualnya saat itu. Karena telah melakukan hedging, pembelian kopi yang ditahan bisa dijual ketika harga kopi tengah tertekan. Dengan begitu, PMA tetap bisa menjual dengan harga differensial.
“Disitulah PMA bisa bermain di pasar dalam negeri. Dan Roaster sekarang lebih suka membeli dari PMA karena harga cenderung stabil walaupun sepanjang tahun, sedangkan kami biasanya kan jual bulanan,” keluh Budi.
Lebih dari itu, terus tergerusna eksportir lokal karena dampak pajak pertambahan nilai (PPN) 10% yang dikenakan sejak 2014 membuat eksportir semakin tertekan. Akibatnya eksportir lokal hanya menjual setengah volume ekspor kepada PMA. Namun, PMA tidak mau membayar harga setelah dikenai pajak.
“Karena ada PPN itu, PMA tidak mau saya jual dengan PKP (Pengusaha Kena Pajak). Mereka maunya tanpa PKP. Kalau saya jual begitu, artinya saya menyembunyikan omset dong?” pungkas Budi. YIN