Jakarta, Media Perkebunan.id
Panitia Kerja (Panja) Sawit Komisi IV DPR-RI mengusulkan supaya statusnya dinaikkan jadi Panitia Khusus (Pansus) DPR-RI. DPR minta data selengkap-lengkapnya pada GAPKI dan asosiasi petani yang tergabung dalam POPSI (Persatuan Organisasi Petani Kelapa Sawit) untuk selanjutnya disampaikan pada rapat paripurna DPR. Demikian yang terungkap dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komisi IV DPR RI dengan GAPKI dan POPSI, Senin (23/11) yang dipimpin oleh G Budisatrio Djiwandono, Wakil Ketua Komisi IV dari Fraksi Gerindra.
Menurut Darori Wonodipuro, anggota Panja dari F- Gerindra , kalau panja maka masalah tidak akan pernah selesai karena kewenangan Komisi IV yang terbatas. Kalau Pansus maka DPR bisa memanggil siapa saja sehingga masalahnya menjadi terang benderang.
Dari uraian ketua asosiasi petani, Darori melihat peremajaan sawit rakyat jadi objek karena ada uangnya. Hal ini bisa dilihat dari pendapat berbagai pihak soal besaran dana peremajaan. Tujuan dari Pansus jelas bahwa uang yang dipungut dari rakyat harus kembali sebanyak-banyaknya ke rakyat lagi.
Mengenai UU Cipta Kerja menurut Darori sebenarnya sangat menarik bagi petani kelapa sawit. Petani yang sudah terlanjur masuk dalam kawasan hutan bila terbukti sudah menduduki paling kurang 5 tahun maka lahan itu akan dilepas dan diberikan.
“Sekarang masalahnya siapa yang menginventarisir petani yang berada di kawasan hutan dan membuktikan mereka sudah lebih dari 5 tahun berada di situ. Dinas perkebunan tidak punya dana, KLHK tidak mungkin masa sudah rela melepaskan kawasan masih harus mendanai, Ditjenbun juga dananya tidak ada. Maka kita usul gunakan dana BPDPKS,” katanya.
Beberapa anggota lainnya setuju untuk naik jadi Pansus seperti Riezky Aprilia dari PDI-P, Luluk Nur Hamidah dari PKB, Bambang Purwanto dari Demokrat, Sulaeman Hamzah dari Nasdem. Budi Purwanto menyatakan masalah petani kelapa sawit banyak sekali mulai dari PSR yang realisasinya masih lambat, kesulitan mendapatkan pupuk non subsidi, jalan usaha tani yang buruk sehingga mobilisasi hasil panen terhambat dan lain-lain.
Petani harus diberi akses yang lebih besar kepada dana BPDPKS untuk mengatasi masalahnya. Dana itu harus dikembalikan lagi ke kebun supaya pengetahuan petani bertambah dan kebun kelapa sawitnya lebih baik dengan peningkatan produktivitas.
Joko Supriyono, Ketua Umum GAPKI menyatakan perusahaan tidak terlibat langsung dalam kebijakan PSR tetapi siap membantu untuk mencapai target yang sudah ditetapkan. Anggota GAPKI di daerah siap menjalin kemitraan dengan petani yang ada disekitar perusahaan untuk PSR.
Mengenai dana BPDPKS, GAPKI merupakan asosiasi pengusaha perkebunan yang hasilnya adalah CPO sehingga menjadi pihak yang dipungut dananya. Sedang pemanfaatan untuk biodiesel menjadi ranah asosiasi lain yang bergerak dalam bidang itu.
Pahala Sibuea, Ketua POPSI menyatakan karena selama ini aloasi dana untuk petani masih jauh dibawah biodiesel. PSR sebaiknya didanai sepenuhnya oleh BPDPKS, Rp50 juta/ha saja sudah cukup.
M Darto, Sekjen Serikat Petani Kelapa Sawit menyatakan 70% petani kelapa sawit adalah petani swadaya yang belum tersentuh kebijakan pemerintah termasuk PSR. Tipologi petani setiap daerah berbeda-beda sehingga kebijakan PSR juga tidak bisa seragam tetapi harus sesuai dengan karateristiknya.
Pemerintah tidak punya data base petani sawit, ketika ada PSR baru dilakukan pendataan. Ditjenbun dan dinas yang membawahi perkebunan juga tidak punya anggaran yang cukup untuk sosialisasi. Petani juga banyak yang tidak punya kelembagaan, ketika ada PSR dipaksa membentuk kelembagaan untuk menampung dana ini. Pengalaman masa lalu menunjukkan bila uangnya habis maka kelembagaan akan ikut bubar. Harus ada road map peremajaan seperti apa.
Juwita dari ASPEKPIR menyatakan petani senang dengan dana PSR dari BPDPKS, dimana penyerapan dana sudah cukup bagus tetapi kemajuan pembangunan kebun masih rendah. Membangun kebun bukan sekedar punya dana tetapi harus ada kemampuan manajemen teknis. Koperasi-koperasi petani anggota ASPEKPIR sudah berpengalaman berkebun sawit 20 tahun sehingga mampu melaksanakannya.
Dana BPDPKS yang digunakan untuk surveyor sebaiknya digunakan untuk memperbaiki manajemen koperasi petani ini dalam pendampingan PSR. Masalah lain yang dihadapi adalah banyak kabupaten tidak punya dinas perkebunan sehingga pendamping petani menjadi masalah. Penyuluh yang ditugaskan mendampingi petani tugas utamanya adalah untuk tanaman pangan bukan sawit.
Alfian, Ketua Umum APKASINDO menyatakan problem utama PSR adalah kurang sosialisasi. Banyak petani di daerah yang tidak mengerti soal PSR dan mereka meremajakan sendiri sehingga tidak ada perbaikan kebun. Dana PSR Rp45-50 juta sudah cukup, sebaiknya semuanya ditanggung BPDPKS sehingga petani tidak perlu berutang lagi. Karena luas lahan petani 41% maka jumlah ini juga yang harus dikembalikan kepada petani dari total dana pungutan.
.