Jakarta, mediaperkebunan.id – Indonesia Palm Oil Strategic Studies (IPOSS) bersama KBRI Kopenhagen dan Copenhagen Zoo menggelar pemutaran film dokumenter “Palm Oil in the Land of Orangutans” sebagai upaya edukasi publik tentang hubungan antara industri kelapa sawit dan keberlanjutan ekosistem.
Film produksi Copenhagen Film Company ini menampilkan hasil riset delapan tahun yang menunjukkan bahwa biodiversitas, termasuk orangutan, dapat hidup berdampingan dengan perkebunan sawit melalui praktik berkelanjutan.
Dalam acara yang juga dihadiri oleh Dirjen Informasi dan Diplomasi Publik Kemenlu RI, Heru Hartanto Subolo, para pakar menegaskan pentingnya pengelolaan hutan koridor dan penerapan sertifikasi ISPO serta RSPO untuk menjaga keseimbangan alam.
Kegiatan ini menjadi langkah penting bagi Indonesia dalam menunjukkan keterbukaan terhadap isu sawit secara ilmiah dan berimbang. Lebih dari sekadar pemutaran film, diskusi publik ini menjadi forum dialog yang mempertemukan perspektif ekonomi, lingkungan, dan diplomasi hijau antara Indonesia dan Denmark.
Melalui inisiatif ini, IPOSS menegaskan komitmennya dalam mendorong industri sawit berkelanjutan yang tidak hanya memperkuat ekonomi nasional tetapi juga menjaga keberlangsungan kehidupan flora dan fauna.
Film tersebut menggambarkan secara visual realitas di lapangan, memperlihatkan bagaimana sawit berinteraksi dengan lingkungan, khususnya habitat orangutan. Film hasil kerja sama antara Kebun Binatang Kopenhagen (Copenhagen Zoo) dengan United Plantation (UP) ini awalnya dimaksudkan untuk promosi sawit yang berkelanjutan.
Selama 8 tahun (2015-2023), mereka melakukan rehabilitasi hutan sambil melakukan pengamatan secara empiris atas biodiversitas yang menyeruak dalam “hutan koridor” seluas 318 ha yang menghubungkan area perkebunan sawit dan hutan lindung di Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah.
Dalam film ini terlihat misalnya, beberapa ekor orangutan yang baru melahirkan dan mereka hidup secara baik di perkebunan kelapa sawit. Selain itu, berbagai binatang seperti serangga, ular dan berbagai burung juga berkembang biak secara normal. Hal ini menunjukkan bahwa produksi minyak kelapa bisa sawit dilakukan tanpa mempengaruhi ekosistem flora dan fauna.
Temuan diatas tentu telah memantik banyak diskusi baik di Eropa maupun berbagai wilayah lain. Ada yang menerima dengan baik dan tetap saja ada yang kontra. Maklumlah, film tersebut seolah menggarisbawahi potensi produksi sawit yang bisa hidup berdampingan dengan konservasi lingkungan dan wildlife. Kenyataan di lapangan tersebut juga menggambarkan keberhasilan forest corridor project yang mampu meningkatkan jumlah dan populasi aneka spesies.
Secara umum, film karya warga Eropa ini menawarkan sebuah perspektif yang tidak biasa terhadap industri kelapa sawit, utamanya menekankan pentingnya keberlanjutan dan konservasi lingkungan hidup.
Bagi Indonesia, kegiatan ini memiliki makna strategis. Pertama, untuk menunjukkan keterbukaan dalam membicarakan isu sawit secara ilmiah dan berimbang. Kedua, untuk mengedukasi publik—terutama generasi muda dan kalangan akademisi—agar memahami kompleksitas hubungan antara ekonomi, lingkungan, dan pembangunan berkelanjutan. Ketiga, kegiatan ini memperkuat kerja sama diplomasi hijau antara Indonesia dan komunitas internasional, khususnya dengan Denmark melalui dukungan KBRI Kopenhagen dan Copenhagen Zoo.

