2017, 27 Januari
Share berita:

Trend penguatan perekonomian global, dampak kebijakan protektif AS, dan kenaikan produksi memberikan optimisme cerahnya industri sawit Indonesia pada tahun yang baru ini.

Harga Komoditi perkebunan menjadi salah satu faktor penentu utama berlangsungnya bisnis perkebunan. Harga komoditi akan menentukan besaran penerimaan dari stakeholder dalam rantai pasok komoditi seperti petani, perusahaan perkebunan besar, middleman, KUD atau Koperasi atau Kelompok Usaha Bersama atau Unit Pengolahan dan Pemasaran.

Industri atau Pabrik Pengolah Barang Setengah jadi-Barang Jadi-eksportir dan pemerintah. Harga komoditi yang terjadi pada suatu waktu ditentukan oleh faktor-faktor fundamental permintaan dan penawaran. Perubahan dan penawaran dipengaruhi oleh berbagai faktor yang bergerak dinamis, bahkan di pasar berjangka yang juga berfungsi sebagai lembaga pembentuk harga dan hedger, berbagai faktor itu berubah dan bergerak kontinu secara harian.

Pada dasarnya harga komoditi perkebunan yang terjadi di Indonesia ditransmisikan dari harga komoditi tersebut di pasar dunia. Karena itu berbagai faktor yang mempengaruhi permintaan dan penawaran di pasar dunia baik yang terjadi di negara-negara konsumen maupun produsen akan menentukan harga di Indonesia.

Faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan di negara-negara konsumen adalah pertumbuhan ekonomi dan kebijakan fiskal, moneter, sektor riil, industri hilir dan perdagangan, pertumbuhan jumlah penduduk, penurunan unemployment rate, kekuatan purchaising manager indeks dan inflasi. Sedang faktor yang mempengaruhi penawaran di negara produsen adalah kebijakan produksi dan investasi komoditi perkebunan, inflasi di negara produsen , kebijakan dan kerja sama perdagangan negara produsen.

Kelapa sawit merupakan salah satu komoditas perkebunan unggulan Indonesia. Tak Sedikit kalangan praktisi dan pengamat perekonomian yang memprediksi bahwa kondisi industri sawit Indonesia tahun 2017 ini akan lebih baik bila dibandingkan tahun 2016. Kondisi yang cukup menjanjikan itu sebagai dampak membaiknya perekonomian global. Harga minyak sawit mentah (CPO) pada Desember 2016 sebesar US$ 749,47 per metrik ton. Harga tersebut naik US$ 6,24 dari November 2016. Harga referensi CPO menguat dan tetap berada di bawah ambang batas pengenaan bea keluar yaitu US$ 750 per metrik ton. Untuk itu, pemerintah tetap mengenakan bea keluar 0 dollar AS per metrik ton untuk periode Desember 2016.

Baca Juga:  MINYAK SAWIT INDONESIA HARUS SUSTAINABLE PALM OIL BUKAN PALM OIL

Dari perspektif perdagangan internasional, Trump effect memberikan pengaruh terhadap industri sawit Indonesia. Trump menilai perdagangan bebas atau free trade merugikan Amerika sehingga kebijakan yang diambil cenderung protektif dan Investasi yang mengalir dari Amerika akan kembali ke Amerika. Hal ini memberi pengaruh positif bagi Indonesia karena memberi peluang kepercayaan dan prospek baru untuk bisnis.

Tanda-tanda Trump effect juga memberi tekanan terhadap mata uang Rupiah. Bila nilai tukar dollar AS menguat, nilai rupiah melemah, bagi sebagian kalangan hal ini merupakan penderitaan. Tapi, tidak bagi petani sawit yang justru menyenangkan. Artinya, Impor akan lebih sulit masuk ke Indonesia sedangkan ekspor mudah masuk ke AS, sehingga berujung pada harga sawit tinggi dan petani untung.

Dari aspek produksi pun memberikan optimisme bahwa sawit akan lebih prospektif di tahun 2017 dibanding tahun 2016. Hal ini sebagai dampak pada tahun 2015 telah terjadi fenomena El Nino yang mengakibatkan kebakaran dan kekeringan dimana-mana sehingga produksi menurun. Namun, tahun 2016 terjadi La Nina yang dampaknya produksi sawit kembali meningkat dibandingkan tahun 2015 sehingga tren suplai produk dalam negeri akan meningkat pada 2017. Sumber: sawit.or.id/YIN