Jakarta, mediaperkebunan.id – Berdasarkan data Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) tahun 2019, jumlah curah hujan rata-rata di 10 provinsi tersebut mencapai 1.870,63 mm yang termasuk dalam kategori curah hujan sangat tinggi (> 500 mm), sedangkan kelembapan rata-rata dan suhu rata-rata mencapai 82,05% dan 27,200C.
“Akibatnya, pihak serangan hama pada tanaman kakao cenderung meningkat saat memasuki musim kemarau, hal ini tentu sangat berbeda dengan pola serangan penyakit. Serangan hama yang pada tanaman kakao yang sering ditemui adalah penggerek buah kakao/ PBK (Conopomorpha cramerella) dan penghisap buah kakao (Helopeltis sp.),” kata Direktur Perlindungan Perkebunan, Ditjen Perkebunan Kementerian Pertanian, Ardi Praptono kepada Media Perkebunan.
Lebih lanjut, menurut Ardi, endemis memiliki pengertian keberadaan suatu hama dan penyakit yang terus menerus terjadi di suatu tempat, sedangkan sporadis adalah kejadian serangan hama dan penyakit yang relatif berlangsung singkat tetapi menyebar dengan cepat dan meluas. Data tertinggi maksimal dibagi menjadi tiga kelas serangan, yaitu 0 = Aman, 1 = Potensial, 2 = Sporadis, dan 3 = Endemis. Sejauh ini sudah ada tiga data sebaran serangan OPT Kakao yang sudah dibuat yakni serangan Penghisap Buah Kakao (Helopeltis sp.), VSD (Ceratobasidium theobromae) dan Penggerek Buah Kakao (Conopomorpha cramerella).
Bahkan, seperti diketahui bahwa saat musim kemarau tiba, biasanya saat itu larva PBK mulai menyerang tanaman petani. Padahal kakao itu sendiri identik dengan tanaman petani karena dari total luas areal yang mencapai 1.611.014 hektar, yang dikuasai oleh petani mencapai 1.584.133 hektar (data Ditjenbun Kementan).
Namun, masalahnya larva PBK tidak mengenal tanaman milik petani ataupun bukan. Bahkan jika sudah menyerang bisa menurunkan produktivitas tanaman. Alhasil produksi biji kakao yang dihasilkan pun akan menurun yang menyebabkan menurunnya pendapatan. Tapi petani tidak perlu takut dengan serangan PBK. Sebab serangan PBK bisa ditanggulangi jika petani sudah siap sebelum menyerang.
Bahkan, OPT yang tidak kalah mengganggu tanaman kakao yaitu penyakit busuk buah kakao yang disebabkan oleh jamur Phytoptora palmivora. Bahkan pada intensitas serangan yang tinggi penyakit ini dapat mengakibatkan kerugian hasil hingga 90%
“Jadi Phytoptora palmivora merupakan species utama yang menyerang semua fase perkembangan buah kakao, bahkan dapat menyerang batang maupun cabang tanaman kakao sehingga menyebabkan timbulnya gejala kanker,” jelas Ardi.
Lebih lanjut, menurut Ardi, penyakit busuk buah kakao merupakan salah satu penyakit utama kakao yang dapat mempengaruhi system produksi tanaman. Penyakit ini timbul pada berbagai umur buah, sejak buah masih kecil hingga sampai menjelang masak. Warna buah berubah, umumnya mulai dari ujung buah atau dekat tangkai, yang dengan cepat meluas keseluruh buah.
Buah menjadi busuk dalam waktu 14 sampai 22 hari. Pada akhirnya buah menjadi hitam. Jamur juga dapat masuk kedalam biji dan menimbulkan busuknya biji-biji.
Selain menyebabkan busuk buah, jamur ini juga dapat mengakibatkan penyakit kanker pada batang. Penyakit kanker pada batang ditandai dengan adanya warna yang lebih gelap, bagian tersebut seringkali mengeluarkan cairan kemerahan. “Apabila cairan tersebut mengeringakan seperti lapisan karat pada permukaan kulit batang,” risau Ardi.
Tapi Ardi menghimbau agar tidak perlu khawatir terhadap penyakit busuk buah kakao, ini karena hal tersebut bisa diantisipasi. Contohnya kegiatan pengendalian dilaksanakan di Kabupaten Mojokerto, diawali dengan survei kebun untuk mengetahui intensitas serangan awal.
Berdasarkan kondisi kebun, aplikasi metabolit sekunder untuk pengendalian OPT kakao Phytoptora palmivora sebaiknya menggunakan metode semprot.
Metabolit Sekunder Atasi Busuk Buah
Metabolit Sekunder (APH) itu sendiri yaitu merupakan senyawa organik yang tidak secara langsung terlibat dalam pertumbuhan, perkembangan dan reproduksi organism secara normal dan dibentuk selama akhir atau mendekati tahap stationer pertumbuhan.
“Beberapa APH yang sudah digunakan sebagai metabolit sekunder adalah Beauveriabassiana dan Trichoderma sp,“ lanjut Ardi.
Namun sebaiknya, Ardi menyarankan, penyemrotan dilakukan dalam 3 perlakuan yaitu penyemprotan satu kali (S1), penyemprotan dua kali (S2) dan penyemprotan tiga kali (S3) serta tanpa perlakuan sebagai kontrol (S0). “Aplikasi metabolit sekunder dilakukan dengan mencampurkan kurang lebih 20 ml metabolit sekunder Beauveriabassiana, 20 ml metabolit sekunderTrichodermasp. Dan penambahan air hingga volume 1 L,” urai Ardi.
Biasanya, Ardi menambahkan, intensitas serangan awal termasuk dalam kategori serangan sangat berat (>50%). Rata-rata penurunan intensitas serangan untuk aplikasi semprot satu kali (S1) sebesar 35,2%, yaitu dari 58% (sangat berat) menjadi 12,3% (sedang).
Lalu, rata-rata penurunan intensitas serangan aplikasi semprot dua kali (S2) 11.7%, yaitu dari 61% (sangat berat) menjadi 10% (ringan). Kemudian rata-rata penurunan intensitas serangan aplikasi semprot tiga kali (S3) sebesar 23,8%, yaitudari 58,8% (sangat berat) menjadi 10% (ringan).
“Penurunan intensitas serangan ini terjadi karena metabolit sekunder mampu menghasilkan hormone, enzim, antibiotik yang diperlukan tanaman untuk memperbaiki kondisinya. Beberapa senyawa metabolit yang dihasilkan oleh Beauveriabassiana antara lain bassianin, bassiacridin, beauvericin, bassianolide, siklosporin A, asamoksalat, beauverolides, tenellin dan oosporein,” papar Ardi.
Selain itu Ardi mengakui kegiatan tersebut juga mampu menghasilkan anti bakteri, anti jamur, anti nematode, mikotoksin, sitotoksis, beauvericin, enniatins, isarolides. Zat-zat tersebut dapat berperan sebagai insektisida biologis, sehingga dapat mengakibatkan terganggunya metabolisme OPT (Soesanto, 2016).
“Sedangkan Metabolit sekunder Trichoderma sp. Memiliki kemampuan untuk mengendalikan OPT karena menghasilkan antibiotika, enzim dan toksin,” ucap Ardi.
Alhasil, Ardi membenarkan dari hasil kegiatan tersebut dapay disimpulkan bahwa pengendalian Phytoptora palmivora pada komoditi kakao dapat dilakukan dengan menggunakan metabolit sekunderTrichodermaSP dan Beauveriabassiana dengan cara semprot.
“Tapi aplikasi harus dilakukan secara berulang-ulang (lebih sering dilakukan lebih baik) dan kontinu sehingga intensitas serangan mengalami penurunan dan dapat memulihkan keadaan tanaman. Agar hasil lebih maksimal, aplikasi juga harus disertai dengan pemeliharaan kebun, sanitasi serta pemupukan.” pungkas Ardi. YIN