Jakarta, mediaperkebunan.id – Berdasarkan data resmi Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), produksi minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) pada bulan Agustus mencapai 5.062 ribu ton, turun -1,00% dibandingkan Juli 2025 yang sebesar 5.113 ribu ton. Produksi PKO juga mengalami penurunan menjadi 481 ribu ton dari 493 ribu ton bulan sebelumnya.
Meskipun demikian, Sekjen GAPKI, Hadi Soegeng mengatakan bahwa secara tahunan hingga Agustus 2025, total produksi CPO dan PKO Indonesia telah mencapai 39,04 juta ton atau meningkat sekitar 13,1% dibandingkan periode yang sama tahun 2024. “Hal ini disebabkan oleh cuca tahun 2024 dan 2025 yag mendukung produksi, sehingga outlook produksi 2025 diperkirakan tumbuh minimal 10%,” ungkapnya pada konferensi pers pada Selasa (28/10/2025).
Kemudian, konsumsi dalam negeri memperlihatkan tren positif dengan peningkatan dari 2.034 ribu ton pada Juli menjadi 2.100 ribu ton pada Agustus. Kenaikan terbesar terjadi pada penggunaan biodiesel yang meningkat menjadi 1.111 ribu ton atau 5,71% dari bulan sebelumnya sebesar 1.051 ribu ton.
Konsumsi untuk kebutuhan pangan juga naik menjadi 806 ribu ton dari 798 ribu ton atau naik 1,00%. Sementara itu, konsumsi oleokimia sedikit turun menjadi 183 ribu ton dari 185 ribu ton atau terkoreksi -1,08%. Peningkatan konsumsi domestik ini mencerminkan semakin kuatnya peran industri hilir dalam menyerap produksi sawit nasional, terutama melalui kebijakan pemanfaatan biodiesel.
Di sisi lain, ekspor minyak sawit pada Agustus tercatat menurun menjadi 3.473 ribu ton atau -1,81% dibandingkan Juli yang mencapai 3.537 ribu ton. Penurunan terbesar terjadi pada ekspor CPO yang berkurang signifikan dari 626 ribu ton menjadi 494 ribu ton atau -21,09%, serta ekspor oleokimia yang turun menjadi 436 ribu ton dari 438 ribu ton atau -0,46%.
“Namun ekspor tahunan Agustus 2025 tumbuh 15,3% daripada tahun 2024. Hal ini disebabkan selain karena produksi 2025 yang lebih tinggi juga karena harga CPO pada tahun 2024 lebih tinggi dari minyak nabati lain, sehingga konsumen beralih ke minyak nabati lain,” jelas Soegeng.
Lebih lanjut, Soegeng mengatakan bahwa tahun 2025 harga premium CPO terhadap minyak nabati lain menurun sehak bulan Januari dan bahkan negatif bulan April s/d Juni. Peningkatan ekspor pada minyak sawit olahan bulan Agustus juga naik menjadi 2.343 ribu ton dari 2.307 ribu ton atau 1,56%. Produk olahan minyak inti sawit juga menunjukan kenaikan dari 164 ribu ton menjadi 199 ribu ton atau 21,34%.
Jika dilihat dari negara tujuan, penurunan ekspor terutama terjadi ke India sebesar -160 ribu ton, Bangladesh -76 ribu ton, dan Pakistan -48 ribu ton. Sementara beberapa pasar menunjukkan peningkatan serapan, seperti Malaysia yang naik 103 ribu ton, China naik 101 ribu ton, Afrika naik 40 ribu ton, Uni Eropa (EU-27) naik 32 ribu ton, Rusia naik 6 ribu ton, dan Amerika Serikat naik 4 ribu ton. Hal ini menegaskan dinamika permintaan global yang masih cukup variatif antar kawasan.
Walaupun volume ekspor menurun, nilai ekspor minyak sawit Indonesia bulan Agustus justru meningkat dari US$ 3,690 miliar menjadi US$ 3,819 miliar atau naik 3,50%. Secara tahunan hingga Agustus 2025, nilai ekspor mencapai US$ 24,785 miliar atau naik signifikan sebesar 42,88% dibanding periode yang sama tahun lalu yang sebesar US$ 17,347 miliar. Kenaikan nilai ekspor ini didorong oleh harga rata-rata Januari–Agustus 2025 yang mencapai US$ 1.204 per ton CIF Rotterdam, lebih tinggi dari rata-rata Januari–Agustus 2024 sebesar US$ 1.009 per ton CIF Rotterdam.
Dengan stok awal bulan Agustus sebesar 2.568 ribu ton dan penurunan produksi serta ekspor yang disertai peningkatan konsumsi dalam negeri, stok akhir bulan Agustus tercatat sedikit turun menjadi 2.543 ribu ton. Kinerja industri minyak sawit Indonesia sepanjang Agustus 2025 ini mencerminkan peningkatan kekuatan pasar domestik namun juga tantangan pada pasar ekspor, meskipun nilai perdagangan tetap menunjukkan hasil positif.
Untuk mengatasi penurunan produksi, GAPKI melakukan serangkaian upaya untuk meningkatkan produktivitas diantaranya, menjaga biaya, melakukan introduksi serangga penyerbuk dari Tanzania, menerapkan Best Agricultural Practices sampai pada mekanisasi.
“Kelangsungan industri sawit tidak hanya berganting pada harga jual produk tetapi juga sangat dipengaruhi biaya produksi. Oleh sebab itu upaya peningkatan produktivitas sawit dan efisiensi biaya harus menjadi fokus perhatian yang berkelanjutan,” pungkas Soegeng.

