2017, 29 Mei
Share berita:

Hal yang diperlukan untuk menyelamatkan hutan dan biodiversity adalah memoratorium logging hutan dan melakukan restorasi hutan-hutan terdegradasi dan bukan moratorium kebun sawit.

Akhir-akhir ini desakan dari LSM untuk moratorium kebun sawit kembali mengemuka. Sasaranya adalah untuk menjaga hutan Indonesia agar tidak makin rusak dan biodiversity termasuk satwa-satwa liar dapat dilestarikan. Jika sasaran tersebut yang ingin dicapai, LSM salah alamat mendesak moratorium kebun sawit. Untuk sasaran tersebut yang diperlukan dan perlu didesak LSM adalah moratorium pemanfaatan hutan (moratorium hutan). Mengapa?

Pertama, Sebagaimana berbagai studi Forest Watch Indonesia bahwa penyebab terjadinya kerusakan hutan di Indonesia sejak tahun 1970-an adalah kegiatan penebangan hutan (logging) yang massif yang dilakukan oleh perusahaan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) baik secara legal maupun secara illegal. Menurut Statistik Kehutanan (2016) luas HPH secara akumulatif telah mencapai sekitar 75 juta hektar. Sampai saat ini Kegiatan logging masih terjadi termasuk illegal logging di kawasan hutan lindung dan konservasi. Kegiatan logging ini ditambah pula dengan kegiatan pemburuan satwa-satwa liar (illegal hunting) yang membuat satwa-satwa liar makin terancam di habitatnya dan keluar memasuki areal pertanian dan pemukiman penduduk. Kegiatan di hutan inilah yang perlu di moratorium.

Kedua, Sesuai Statistik Kehutanan, luas hutan (berhutan) Indonesia saat ini adalah sekitar 88 juta hektar atau sekitar 47 persen luas daratan. Hutan tersebut sebagian mengalami kerusakan akibat kegiatan logging. Oleh karena itu, jika sungguh-sungguh menyelamatkan hutan, selain memoratorium logging hutan juga diperlukan upaya konkrit untuk melakukan rehabilitasi atau restorasi hutan agar makin mendekati vegetasi alamiah dan nyaman sebagai “rumahnya” biodiversity termasuk satwa liar.

Ketiga, Sampai saat ini sekitar 102 juta hektar daratan merupakan non hutan. Dari luasan tersebut, luas kebun sawit hanya 11 juta hektar. Jika daratan non hutan tersebut dikategorikan sebagai hasil konversi hutan menjadi non hutan (deforestasi) maka pemicu terbesar konversi hutan adalah sektor-sektor lain (89 persen) sementara kebun sawit hanya 11 persen. Dengan data data tersebut, melakukan moratorium sawit tidak akan berhasil untuk meredam konversi hutan jika seluruh sektor-sektor lain (pemicu terbesar) tidak dilakukan moratorium.

Baca Juga:  Pemerintah Jangan Lupakan Petani Tembakau

Keempat, Sebagaimana studi Gunarso,dkk (2012) asal usul lahan kebun sawit selama ini sebagian besar berasal dari konversi lahan pertanian dan lahan terlantar. Oleh karena itu, untuk ekspansi kebun sawit tidak harus dari konversi hutan, tetapi dapat dipenuhi dari konversi lahan pertanian yang tidak produktif dan dimungkinkan oleh UU sistem budidaya tanaman. Sehingga jika moratorium kebun sawit dilakukan dapat berpotensi melanggar UU tersebut.

Kelima, Memoratorium kebun sawit berarti melarang petani baru mengembangkan kebun sawit sebagai sumber mata pencaharian yang saat ini menarik bagi petani. Hal ini sama artinya melarang petani memperbaiki kesejahteraanya, sementara alternatif lain yang lebih menguntungkan bagi petani belum dapat disediakan pemerintah.

Keenam, Industri sawit merupakan penyumbang terbesar dalam devisa (net ekspor). Selain itu sebagaimana studi Bank Dunia, industri sawit sangat berperan dalam pembangunan ekonomi daerah dan pengurangan kemiskinan pedesaan. Jika Pemerintah melakukan moratorium sawit akan membuat citra buruk industri sawit tersebut.

Dengan kata lain, yang diperlukan saat ini untuk menyelamatkan hutan dan biodiversity adalah memoratorium logging hutan dan melakukan restorasi hutan-hutan terdegradasi dan bukan moratorium kebun sawit. Sumber: indonesiakita.or.id