2020, 10 Maret
Share berita:

Medan, 10 Maret 2019, Media Perkebunan.id

Pola kemitraan yang terbukti berhasil mensejahterakan petani adalah Pola PIR. Tetapi sayang sekarang seperti lupa akan sejarah. Ada upaya menggantikan pola PIR dengan kemitraan pola lain yang belum tentu berhasil. Setiyono, Ketua Umum ASPEKPIR Indonesia menyatakan hal ini pada pelantikan pengurus ASPEKPIR Aceh, Sumut, Sumbar, Jambi dan Bengkulu.

“Sayangnya kemitraan yang sudah bagus ini sekarang sepertinya dikerdilkan. Lebih banyak upaya kemitraan yang polanya beda dengan pola PIR. Beberapa petani PIR juga karena satu dan lain hal ada yang berpisah dari intinya terutama pada waktu replanting. Kalau sudah seperti ini maka pola inti plasma nanti akan ditinggalkan. ASPEKPIR sendiri tetap akan menjaga supaya pola inti plasma ini tetap magnum clen 40 berlanjut,” katanya.

Kalau pemerintah tanggap, konsep ini dilanjutkan maka tidak akan ada petani salah bibit sehingga produksi rendah. Petani plasma sudah merasakan produksi sawit tinggi karena menggunakan bibit bagus.

ASPEKPIR sendiri berawal dari Riau dan sekarang membesar menjadi ASPEKPIR Indonesia dengan anggota petani PIR di seluruh Indonesia. Di Riau luas kebun plasma 137.214 ha, anggota 67.107 KK, 3.167 kelompok tani, 147 KUD, dan 19 ASPEKPIR wilayah.

Kemudian tahun 2018 diperluas menjadi ASPEKPIR Indonesia yang diharapkan beroperasi di 20 provinsi lokasi PIR selama ini. Setelah pembentukannya, tingkat provinsi yang terbentuk adalah ASPEKPIR Riau, Sumsel dan Kalbar. Tahun 2020 ini dibentuk ASPEK PIR Aceh, Sumut, Sumbar, Jambi dan Bengkulu. Ada 2 lagi yang sudah dibentuk tetapi belum dilantik . Setelah ini diharapkan 10 provinsi lain menyusul.

Sampai tahun 1979 kelapa sawit identik dengan perusahaan sedang luas kebun kelapa sawit rakyat hanya 3.125 ha sedang perusahaan 257.939 ha. Perkebunan rakyat mulai berkembang tahun 1980 dengan intervensi pemerintah melalui PIR/NES yang dibiayai oleh Bank Dunia dengan menunjuk PTPN sebagai inti dan petani sebagai plasma.

Melalui Inpres nomor 1 tahun 1986 pola ini diperluas yang dikaitkan dengan program Transmigrasi dengan PIR-Trans. Inti tidak lagi hanya PTPN tetapi melibatkan Perkebunan Besar Swasta. Di wilayah sekitar perkebunan sawit dibuat PIR KKPA (Kredit Koperasi Primer untuk Anggota). Konsep ini dibuat oleh 7 kementerian dan Bank Indonesia sehingga semua tertata.

Luas kebun plasma adalah 617.127 ha terdiri dari PIR Trans 362.528 ha; KKPA 155.211 ha; PIR NES PIR SUS PIR LOK 153.388 ha. Tersebar di 20 provinsi dengan peserta 335.500 KK.

Pola PIR dengan komoditas sawit terbukti sekali berhasil dan merupakan pengembangan yang strategis. Beberapa bukti itu ialah mampu membuka isolasi wilayah. Pusat-pusat keramaian di beberapa daerah dulu adalah wilayah terpencil.

Ekonomi daerah menjadi terbangun sehingga kemiskinan berkurang dan lapangan kerja terbuka. Daerah pelosok dibangun. “Secara umum ekonomi di daerah PIR yang dulu tidak ada apa-apanya sekarang terbangun dari semua aspek,” katanya.

Kemitraan diibaratkan gigi dalam mesin saling terkait dimana terjadi saling ketergantungan, menguntungkan dan membutuhkan. Kalau salah satu macet maka semua mesin akan mati.

Kemitraan juga ibarat telur dimana perusahaan inti sebagai kuning telur, petani lewat KUDnya menjadi telur putih dan pemerintah dengan berbagai aturan yang dikeluarkan menjadi kulit pengikatnya.

Keuntungan pola kemitraan adalah bagi perusahaan ada kepastian pasokan sedang bagi pekebun ada kepastian penjualan TBS. Harga juga sudah ditentukan lewat penetapan harga sesuai Permentan.

Kelembagaan pekebun berkembang baik dibuktikan dengan kinerja koperasi PIR yang rata-rata bagus. Usaha perkebunan juga berkembang dengan baik karena semua pihak sama-sama diuntungkan. Karena sejak awal dibina oleh inti maka petani plasma sudah mempraktekan sustainability dan paling siap untuk sertifikasi ISPO, RSPO dan ISCC.