Jakarta, mediaperkebunan.id – Kualitas dan kuantitas minyak goreng bekas atau minyak jelantah asal Indonesia ternyata sudah mendunia dan diakui sebagai yang terbaik nomor 1, termasuk untuk bahan pembuatan bioavtur atau sustainable aviation fuel (SAF) untuk industri penerbangan.
Namun sayangnya, ucap Ketua Asosiasi Pengumpul Jelantah untuk Energi Baru Terbarukan Indonesia (APJETI), Matias Tumanggor, sampai saat ini semua pengajuan pihak luar negeri itu seperti tidak memiliki gema di dalam negeri.
Sebab, sambung Matias Tumanggor, minyak jelantah atau used cooking oil (UCO) yang ada di Indonesia belum dimanfaatkan secara maksimal oleh pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah.
“Tetapi baru digunakan untuk bahan-bahan lokal yang lain seperti bahan baku, bahan lilin, dan sebagainya,” ucap Matias Tumanggor saat berbicara dalam sebuah diskusi kelompok terpumpun atau focus group discussion (DKT/FGD) yang digelar di Gedung BJ Habibie BRIN, Jakarta, Rabu (16/4/2025).

DKT itu digelar oleh Pusat Riset Sistem Produksi Berkelanjutan dan Penilaian Daur Hidup (PRSPBPDH) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), bertema “Rantai Pasok Minyak Jelantah Berkelanjutan untuk Sustainable Aviation Fuel (SAF): Inovasi Teknologi, Sinergi Sosial dan Analisa LCA”.
Kegiatan ini juga sebagai wadah untuk mempertemukan berbagai pemangku kepentingan dalam mengidentifikasi tantangan, peluang, dan solusi inovatif dalam pengembangan rantai pasok minyak jelantah untuk produksi SAF.
Melalui diskusi yang terarah dan komprehensif, BRIN tentu berharap agar hal ini kemudian dapat dirumuskan secara berkelanjutan di Indonesia.
Sebagai informasi, LCA ini adalah sebuah metode sistematis untuk menilai dampak lingkungan suatu produk, proses, atau sistem selama seluruh siklus hidupnya, dari ekstraksi bahan baku hingga pembuangan.
Matias Tumanggor lalu menjelaskan tentang tantangan dan strategi pengumpulan UCO dengan berbagai latar belakang yang ada. Dirinya mengatakan, potensi jelantah Indonesia cukup besar dan memiliki kualitas terbaik nomor 1 di dunia.
“Hal ini sebagai pengakuan dari mitra di luar negeri, dan dibuktikan oleh masyarakat Indonesia dengan sertifikasi halal yang dimiliki oleh setiap hotel, restoran, dan kafe,” ungkap Matias Tumanggor.
“Di samping itu, bahan yang mereka gunakan adalah 95 persen minyak goreng berbahan nabati, karena asasnya adalah halal” tutur pria asal Provinsi Sumatera Utara (Sumut) ini lebih lanjut.
Berbagai upaya, kata Matias Tumanggor, telah dilakukan untuk meningkatkan produksi minyak goreng. Pihaknya mengumpulkannya selama ini sejak 2010, otomatis produksinya secara tidak langsung akan meningkat.
“Kemudian, pentingnya dan belum adanya regulasi tentang tata kelola penanganan minyak goreng bekas atau jelantah, serta kami perlu untuk diajak berdiskusi. Menurut kami hal ini sangat penting, karena berhubungan dengan kesehatan lingkungan dan energi,” tegasnya.
Tujuan dari pelaksanaan DKT itu, menurut Matias, untuk memetakan rantai pasok minyak jelantah atau UCO dari hulu ke hilir, mengidentifikasi tantangan dalam pengumpulan UCO.
Kemudian, ucapnya lagi, mengidentifikasi inovasi teknologi pengumpulan, menyusun strategi untuk meningkatkan kapasitas pengumpulan. Mendiskusikan potensi permintaan dan implementasi SAF.
“Kami menerima produk jelantah sebagai sumber penghasil UCO, terdiri dari rumah tangga dengan Bank Sampah atau langsung door to door. Sektor industri yang bergerak di bidang makan dan minuman, seperti hotel, restoran, dan cafe,” ujarnya.
Selanjutnya, sambungnya lagi, ada UMKM dan kantin, imbuhnya, serta industri pertambangan. Ada juga pedagang kaki lima yang menjual gorengan dalam penanganan sampah ampas penggorengannya, dan kerupuk atau keripik yang kadaluarsa.
Matias juga menyampaikan berbagai tantangannya, seperti belum adanya regulasi sehingga dia dianggap melakukan penyalahgunaan.
Di samping itu, pihaknya melihat adanya ketidakpastian pemanfaatan di dalam negeri, serta para pelaku usaha pengumpul UCO yang tidak terorganisir dan ilegal.
“Untuk mengatasinya, kami memiliki strategi pengumpulan dengan melahirkan pelaku usaha yang teredukasi dan terorganisir dari desa sampai provinsi,” kata dia.
“Kam meningkatkan kegiatan sosialisasi kepada masyarakat, merangkul dan bersinergi dengan komunitas, organisasi masyarakat, badan usaha milik desa (BUMDes) atau daerah. Memperluas wilayah pengumpulan sampai ke pelosok desa,” tegas Matias Tumanggor.