JAKARTA, Mediaperkebunan.id – Sebagai negara penghasil karet alam terbesar di dunia, seyogyanya di Indonesia dibentuk atau dibangun sebuah lembaga yang berbadan hukum yang khusus menangani karet alam. Badan itu bernama Pusat Pengembangan Bisnis Karet Alam Indonesia.
“Kita mengerti bahwa Singapura dan Jepang yang tidak mempunyai lahan sehektar pun memiliki kebun karet alam di negaranya. Tapi Singapura memiliki SICOM dan Jepang memiliki TOKOM,” tukas Ketua Asosiasi UPPB Nasional Sugeng Hartadi kepada Mediaperkebunan.id.
Menurut Sugeng, Indonesia sebagai penghasil karet alam terbesar dunia itu memiliki apa? Namun kenyataannya untuk penentuan harga karet alam Indonesia masih diatur kedua negara tersebut yakni Singapura dan Jepang (SIKOM dan TOKOM). “Kenapa Indonesia tidak membangun INDOKOM (Indonesia Komoditi)?,”tandasnya.
Sugeng mengatakan, jika diamati dan telusuri lebih jauh baik SIKOM atau TOKOM tetap menerapkan pola bisnis ekslusif yang berpihak kepada Si kaya atau Pemodal. Seharusnya pemerintah Indonesia menerapkan pola bisnis inklusif yakni berpihak kepada rakyat atau petani karet alam.
“Seperti yang sudah dimulai dikembangkan oleh UPPB Nasional Indonesia, tinggal bagaimana pemerintah memdukung dan menindaklanjuti,” ujar Sugeng.
Menurut Sugeng, pabrik crumrubber yang ada di Indonesia masih sangat kuat tergabung berafiliasi dalam SIKOM dan TOKOM tersebut, sehingga akan sangat sulit untuk diajak bermanuver bergerak mendorong kepada petani karet alam Indonesia atau produsen karet alam untuk merubah produk menjadi RSS dan Latek Pekat.
Sehingga, lanjut Sugeng, petani karet alam tidak hanya pandai membuat karet slap. Namun petani juga memproduksi huasmoked sheet dan latek pekat yang langsung bisa diekspor. “Alhasil monopoli pabrik crumruber ada saingan ditingkat lapangan,” katanya.
Sugeng berharap, pemikirannya dapat dijadikan sebagai bahan masukan dalam kebijakan pemerintah melalui Menteri Pertanian atau Direktur Jenderal Perkebunan. (YR)